TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025 tentang Hari Kebudayaan. Keputusan itu dikeluarkan politikus Partai Gerindra tersebut pada 7 Juli 2025.
Fadli mengatakan 17 Oktober dipilih karena bertepatan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Penetapan Lambang Negara. Menurut dia, hari itu merupakan momen penting ketika Presiden Soekarno meresmikan Garuda Pancasila sebagai lambang negara dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian dari identitas bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman," kata dia melalui keterangan tertulis, Senin, 14 Juli 2025.
Dia menyebut usulan penetapan tanggal tersebut tidak hanya datang dari pemerintah, tetapi juga masyarakat yang tergabung dalam seniman dan budayawan dari Yogyakarta, yang terdiri dari para maestro tradisi dan kontemporer. Kajian yang dilakukan himpunan itu sudah dilakukan sejak Januari 2025, sebelum disampaikan ke Kementerian Kebudayaan.
"Lalu disampaikan ke Kementerian Kebudayaan setelah beberapa kali diskusi mendalam," ujarnya. Usulan yang diberikan oleh para seniman, kata dia, juga sudah disampaikan pada rapat dengar pendapat dengan anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Yogyakarta, Ahmad Syauqi Soeratno, pada 26 Mei 2025.
Fadli menekankan bahwa penetapan Hari Kebudayaan Nasional penting untuk dilakukan guna meningkatkan pengetahuan publik atas nilai-nilai kebudayaan bangsa. "Mari memaknai hari kebudayaan sebagai bagian dari upaya kolektif membangun bangsa Indonesia yang beradab dan berbudaya,” ujarnya.
Penetapan ini menimbulkan asumsi negatif dari publik. Mereka berspekulasi penetapan Hari Kebudayaan Nasional bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo, yakni 17 Oktober 1951.
Kritik dari Butet Kartaredjasa
Aktor seni teater itu berpendapat bahwa tidak ada urgensi atau relevansi menjadikan 17 Oktober sebagai hari kebudayaan, kecuali dijadikan sarana untuk menjilat rezim. "Sama sekali itu tidak ada urgensinya, kecuali menjadi objek untuk sarana menjilat. Itu saja," kata Butet melalui sambungan telepon pada Senin, 14 Juli 2025.
Jika ingin menetapkan Hari Kebudayaan Nasional, Butut menjelaskan bahwa penetapan yang dilakukan harus melalui kajian yang mendalam, melibatkan banyak seniman dari berbagai daerah, dan memilih hari yang penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia. "Misalnya, hari kongres kebudayaan pertama sebelum Indonesia merdeka," katanya.
Butet juga menyatakan bahwa semua orang berhak untuk mengajukan tanggal dan bulan mana pun untuk dijadikan hari peringatan. Namun membuat kebijakan dengan hanya mendengarkan gagasan kelompok kecil tanpa mendengarkan kelompok lain, sangat menunjukkan adanya kepentingan tertentu.
"Semua orang boleh mengusulkan, tapi kalau cuma ada satu kelompok kecil mengusulkan lalu disetujui, itu kelihatan sekali kalau pilihan hari itu untuk menjilat," kata dia. "Apalagi disamain dengan (kelahiran) Prabowo, apa hubungannya?"
Politikus PDIP Mendukung Menteri Fadli Zon
Tanggapan sedikit berbeda datang dari politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Aria Bima. Dia mendorong masyarakat untuk mendukung keputusan kementerian dan berharap tidak mengaitkan penetapan tersebut dengan hari lahir Prabowo.
"Mari Hari Kebudayaan itu kita sambut baik. Saya mengapresiasi Pak Fadli Zon. Jangan disimplikasi, jangan terlalu dikecilkan, dikerdilkan dengan persamaan hari lahirnya Pak Prabowo," kata Aria saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 14 Juli 2025.
Aria juga berharap penetapan Hari Kebudayaan Nasional dapat menjadi momentum untuk menumbuhkan kebanggaan masyarakat akan budaya Indonesia. "Dan itu mampu memproteksi budaya-budaya Barat, budaya-budaya Arab, budaya-budaya luar yang akan menjadikan bangsa ini tidak berkarakter dan tidak bangga dengan dirinya," ujar Aria.