TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan dana kampanye perlu diatur lagi dengan berbagai pertimbangan untuk pemilihan umum atau pemilu lebih adil. Salah satunya menghindari sandera politik kandidat peserta pemilu dari penyumbang dana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"(Dana kampanye perlu diatur) Termasuk untuk menghindari adanya dana-dana tidak sah, maupun ikatan pemberi sumbangan yang akan menyandera secara tidak benar di kemudian hari," kata Tito kepada Tempo pada Selasa, 29 Juli 2025, melalui keterangan tertulis yang dikirim salah satu staf Kementerian Dalam Negeri.
Tito mengatakan transparansi dana kampanye diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 soal Pemilu. Aturan itu mengatur pencatatan penerimaan dan penggunaan dana kampanye, sebelum nantinya diaudit oleh akuntan publik.
Menurut Tito, pengaturan yang ada menghendaki adanya ketaatan terhadap aturan main dana kampanye, tidak sekedar formalitas belaka. Namun, mantan Kapolri ini mengatakan perlu ada evaluasi jelas soal letak permasalahannya, jika aturan yang ada dianggap masih ditemukan kekurangan.
"Apakah pada peraturannya, pada implementasinya atau pada keduanya," kata Tito. Dia menegaskan pemerintah terus menerima masukan dari publik sebelum penguatan regulasi dibahas pembuat undang-undang. "Ini menjadi sebuah kebutuhan bagi perbaikan kualitas demokrasi Indonesia ke depan."
Biaya kampanye yang besar menjadi alasan Presiden Prabowo Subianto ingin kepala daerah tak dipilih langsung. Prabowo menghendaki kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada 23 Juli 2025, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar bahkan mengusulkan kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat atau setidaknya oleh DPRD.
Adapun dana kampanye selama ini tidak transparan. Dari enam kali pemantauan pemilu pada 1998 hingga 2024, Indonesia Corruption Watch menemukan berbagai persoalan dalam laporan dana kampanye partai politik, calon presiden-wakil presiden, dan kepala daerah. Dari administrasi yang buruk hingga dugaan manipulasi.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan biaya pemilu dan pilkada memang tak sedikit. Salah satu penyebabnya adalah partai politik sendiri. Banyak partai mengambil keuntungan dari pembentukan koalisi untuk mendukung kandidat tertentu. Kandidat pun kerap jorjoran menutupi biaya logistik di daerah.
Namun ia menilai kegiatan demokrasi atau ketatanegaraan tak bisa disamakan dengan pengeluaran rumah tangga. “Ada suara rakyat yang terancam hilang jika pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD,” katanya. Menurut Bivitri, pilkada lewat DPRD tak otomatis menghilangkan praktik ilegal dalam kampanye.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, juga menilai pemilihan kepala daerah lewat DPRD bukan solusi mengurangi biaya politik tinggi. Sistem itu bisa jadi lebih mahal dan kian tak transparan. Ia mengatakan yang harus dikedepankan di tengah tingginya biaya politik adalah transparansi. “Harus ada perubahan regulasi untuk meningkatkan transparansi laporan dana kampanye,” ujarnya.
Terpisah, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mengatakan dimensi biaya politik mahal itu banyak, seperti masalah kaderisasi dan lemahnya advokasi partai. “Jangan sampai kita sederhanakan saja, wah ini politiknya mahal, ya sudah kembali ke DPRD,” kata Bima dalam diskusi daring Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia pada Ahad, 27 Juli 2025.
Mantan Wali Kota Bogor ini menyebut mahalnya biaya politik justru harus menjadi pemicu untuk memperkuat perlembagaan partai politik dan mendorong reformasi sistem pendanaan politik yang menyeluruh melalui revisi UU Pemilu.