TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim) tengah menggodok penyelesaian regulasi tentang sound horeg sebelum hari ulang tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunggu pemerintah mengambil langkah tegas terhadap penggunaan sound horeg. Sebab, MUI Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg yang berlebihan.
“Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk membangun harmoni di tengah masyarakat dan mencegah seluruh aktivitas yang bisa merusak harmoni, merusak kenyamanan, dan ketertiban umum,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh setelah acara Milad 50 Tahun MUI di Asrama Haji, Jakarta, pada Sabtu, 26 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUI mengeluarkan fatwa haram berdasarkan kesepakatan yang diputuskan setelah Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk, Kabupaten Pasuruan, Jatim, menggelar Forum Satu Muharram 1447 H pada 26-27 Juni 2025. Fatwa ini didasarkan pada hasil bahtsul masail yang digelar oleh para kiai dan santri.
Dikutip laman MUI, Rektor Ma’had Aly Ponpes Besuk sekaligus Rais Syuriah PBNU Muhib Aman Ali mengatakan fenomena sound horeg kian meresahkan masyarakat, khususnya di wilayah Jatim, seperti Pasuruan dan Malang. Sound horeg dinilai mengganggu dan menyakiti orang lain lantaran suara yang ditimbulkan amat keras.
Selain itu, sound horeg diputuskan haram karena mengandung kemungkaran. Menurut Muhib, banyak aktivitas dalam pertunjukan sound horeg yang melanggar syariat Islam, seperti joget tak senonoh, pergaulan bebas, hingga konsumsi minuman keras.
Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh memahami kesepakatan hasil Forum Satu Muharam Pasuruan. Bagi Asrorun, fatwa itu mencegah berbagai dampak buruk pertunjukan sound horeg.
“Fatwa itu bersifat kontekstual untuk kepentingan kemaslahatan,” ujarnya saat dalam keterangan tertulis aplikasi perpesanan WhatsApp, Kamis, 10 Juli 2025.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa telah menyiapkan tim khusus untuk merumuskan regulasi sound horeg mulai Kamis, 24 Juli 2025. Rapat tim khusus ini dihadiri oleh Gubernur dan Wakil Gubernur, Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Kepolisian Daerah Jatim, serta MUI Jatim.
Rapat itu membahas penyusunan aturan mengenai penggunaan sound horeg di kabupaten/kota di Jawa Timur dan pembentukan tim khusus. Tujuannya, mencari jalan tengah agar bisa merumuskan kebijakan terbaik untuk semua pihak.
“Kami melihat tinjauan aspek agama, lingkungan, budaya, hukum, bahkan kesehatan untuk mencari jalan tengah supaya bisa memberikan solusi terbaik bagi semua pihak,” kata Khofifah lewat keterangannya, Jumat, 25 Juli 2025.
Khofifah menyebutkan sound horeg banyak tersebar di Tulungagung, Banyuwangi, Pasuruan, Jember, dan Malang. Karena itu, pemerintah membutuhkan payung regulasi, baik peraturan gubernur atau pergub maupun surat edaran (SE). “Konsiderannya harus dibuat yang komplet. Kalau komplet, kita tidak sebut horeg kalau tak tinggi skala desibelnya,” dia mengimbuhkan.
Khofifah mengatakan regulasi ini diharapkan selesai pada awal Agustus. Sebab, sebentar lagi akan ada banyak agenda untuk memperingati HUT kemerdekaan Indonesia. Sound horeg diprediksi makin masif saat agenda-agenda HUT proklamasi tersebut.
Gubernur Jatim itu menambahkan, payung regulasi yang akan dikeluarkan Pemprov Jatim akan menggunakan hasil pendalaman polisi, bahtsul masail MUI, dan masukan berbagai elemen masyarakat. Sebab, sound horeg menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan.
Sementara itu, dilansir dari Antara, anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, mengatakan penggunaan sound horeg yang marak di sejumlah daerah membutuhkan pengaturan, bukan pelarangan. Dia menyebutkan pengaturan sound horeg perlu memperhatikan berbagai aspek, dari aspek yuridis, sosiologis, hingga filosofis.
“Penggunaan sound horeg perlu pengaturan, bukan pelarangan. Banyak aspek yang harus menjadi pertimbangan,” kata Khozin dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu, 26 Juli 2025.
Khozin mengatakan bentuk pengaturan sound horeg dapat berupa peraturan ataupun panduan yang diterbitkan oleh pemerintah, khususnya di tingkat daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota. Dia menyebutkan pengaturan dimaksudkan untuk memotret fenomena sound horeg yang berdampak pada aspek ekonomi, khususnya pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta hiburan.
“Bisa saja peraturan kepala daerah, surat edaran, atau perubahan terhadap peraturan daerah (perda) yang selama ini eksis, seperti Perda Penyelenggaraan Ketertiban, yang hampir semua pemda memilikinya,” kata anggota DPR Daerah Pemilihan Jawa Timur IV itu.
Khozin menuturkan isi pengaturan sound horeg dapat mencakup radius penyelenggaraan kegiatan dari permukiman warga, misalnya, di tempat pertunjukan khusus atau di tempat terbuka, prosedur perizinan, besaran desibel yang dapat diputar dengan pertimbangan kesehatan telinga, serta kegiatan yang tidak terdapat unsur pornografi atau pornoaksi.
“Pemda harus arif dalam merespons aspirasi yang muncul, termasuk dari fatwa MUI ini dengan meminimalkan mafsadat (akibat buruk) dan mengoptimalkan manfaat,” tuturnya
Khozin menyebutkan fatwa MUI dapat menjadi rujukan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan pengaturan mengenai penggunaan sound horeg. “Fatwa MUI dapat menjadi pedoman dalam merumuskan pengaturan penggunaan sound horeg karena fatwa ditinjau dari pelbagai perspektif bahkan melibatkan kedokteran spesialis THT. Jadi, tidak perlu diperdebatkan fatwa MUI,” katanya.