INFO NASIONAL - Cara pandang seseorang terhadap nilai-nilai, prinsip, dan keyakinan tak lepas dari mana dia berasal. Termasuk bagaimana budaya keluarga terbentuk dalam pembagian peran mengasuh anak. Di Indonesia pola mengasuh anak cenderung bersifat patriarki.
Hal ini tercermin dalam sistem sosial di mana seorang laki-laki atau ayah memiliki otoritas dan dominasi dalam keluarga. Sedangkan perempuan kerap dibebani tanggung jawab pengasuhan dan urusan domestik.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Mengatur peran dan tanggung jawab setiap anggota keluarga dapat menciptakan keharmonisan rumah tangga. Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Wihaji meyakini Indonesia akan baik-baik saja jika semua anggota keluarga menjalankan tanggung jawab dengan baik.
Sebab, berbagai persoalan di masyarakat, menurut dia, sebagian besar berawal dari keluarga. Di sinilah peran seorang ayah menjadi sangat penting. Komitmen pemerintah dalam memperkuat ketahanan keluarga, diikhtiarkan lewat program nasional Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI).
Program ini bertujuan mendorong peran aktif ayah dalam pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan anak. GATI diresmikan pada 21 April 2025, di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Menurut Wihaji, lahirnya GATI berangkat dari data UNICEF yang menyebutkan 20,9 persen anak Indonesia kehilangan sosok ayah atau fatherless.
Kemudian data BPS menyampaikan hanya 37,17 persen anak usia 0 – 5 tahun diasuh kedua orang tua kandung secara bersamaan. Serta dari data I-NAMHS terdapat 33 persen remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. “Ini artinya, jika tak hati-hati, akan ada anak Indonesia yang berpotensi kehilangan pembentukan karakter, kehilangan kepercayaan diri, kenyamanan, rasa aman, bahkan juga berpotensi mengalami krisis identitas seksual,” katanya.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga / Kepala BKKBN, Wihaji. TEMPO/ABDUL KARIM
Sebagai bagian dari tanggung jawab menangani persoalan kependudukan, Wihaji berusaha memastikan siklus kehidupan di lingkup keluarga berjalan baik. Dia memaparkan, sebagian anak Indonesia, dalam siklus kehidupan usia 0-24 tahun tadi kehilangan sosok ayah. GATI diharapkan bisa menjawab problem anak yang berada di siklus penting tersebut. “Mengapa ayah? Karena objeknya memang kehilangan ayah.
Mengapa teladan? karena masyarakat Indonesia butuh contoh,” kata Wihaji. Gerakan Ayah Teladan Indonesia dimulai melalui kerja sama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, di mana ayah diminta mengantarkan anaknya pada hari pertama sekolah. Hal ini sebagai simbol bahwa ayah sangat dibutuhkan oleh anak dalam sentuhan psikologis.
Tidak hanya berupa sentuhan fisik seperti memberi uang saku, menanyakan nilai di sekolah, setelah itu selesai. Seorang ayah harus punya rasa memiliki, tanggung jawabnya tidak hanya memberikan sentuhan secara fisik dan ekonomi, tetapi juga psikologis.
Untuk mendekatkan GATI kepada masyarakat, ada empat upaya yang secara garis besar meliputi layanan konseling melalui bilik konsultasi ayah, wadah pegiat dan komunitas ayah teladan (KOMPAK TENAN), pendekatan ditingkat desa/kelurahan (DEKAT) di kampung KB, dan basis sekolah (SEBAYA).
“Ayah teladan harus memiliki kebersamaan dengan anak,” ujar Wihaji. Program GATI diharapkan bisa mengurangi fatherless, terlebih di kota-kota besar yang kian minim waktu untuk kumpul keluarga. Dengan anak-anak Indonesia yang tumbuh bersama sosok ayah teladan, akan lahir generasi tangguh yang dinantikan oleh Indonesia Emas 2045. Jika hal itu tidak diurus dari sekarang, Wihaji mengatakan, kita bisa kehilangan momentum lahirnya generasi emas termasuk bonus demografi.(*)