INFO NASIONAL – Ancaman siber tak selalu datang dari teknik baru atau serangan canggih. Banyak insiden besar justru bermula dari satu hal sederhana yang terlewat: kerentanan yang tak ditangani.
Pada tahun 2024, rata-rata kerugian dari satu kebocoran data tembus USD 4,88 juta. Ironisnya, sebagian besar kasus ini tidak terjadi karena peretas terlalu pintar, tapi karena organisasi lalai menutup celah yang sudah diketahui.
Banyak pelaku siber memanfaatkan celah keamanan yang sudah diumumkan, kadang bahkan sudah tersedia tambalannya selama berminggu-minggu. Ini bukan lagi soal teknologi mutakhir atau serangan rumit.
Dalam banyak kasus, pelaku cukup memindai jaringan dan mencari sistem yang belum diperbarui. Begitu menemukan celah terbuka, mereka bisa menyusup ke dalam sistem, mengakses data sensitif, atau menanam ransomware sering kali tanpa terdeteksi selama berbulan-bulan.
Peningkatan jumlah celah yang terdokumentasi juga mencerminkan kompleksitas yang harus dihadapi perusahaan. Hingga akhir 2024, database Common Vulnerabilities and Exposures (CVE) mencatat lebih dari 40.000 celah keamanan. Namun masih banyak organisasi yang belum memiliki sistem yang mampu mengelola dan menutup celah-celah ini secara efektif.
Tren positifnya, makin banyak organisasi rutin melakukan pemindaian kerentanan. Tapi ini bukan jaminan keamanan. Banyak tim keamanan justru kewalahan dengan laporan yang berisi ribuan temuan, tanpa kejelasan mana yang harus diprioritaskan.
Tanpa panduan berbasis risiko, proses perbaikan bisa tersendat. Apalagi jika tidak ada integrasi antara tim keamanan dan operasional, atau tidak ada sistem otomatisasi yang bisa mempercepat penanganan.
Pendekatan Berbasis Risiko
Di sinilah pendekatan risk-based vulnerability management menjadi kunci. Organisasi kini didorong untuk menilai setiap celah berdasarkan empat faktor utama:
- Apakah celah tersebut sedang dieksploitasi aktif?
- Seberapa kritikal sistem yang terdampak?
- Apakah sistem dapat diakses secara publik?
- Seberapa mudah celah itu dimanfaatkan?
Dengan menggabungkan konteks bisnis, data ancaman, dan pemetaan aset, tim keamanan dapat fokus hanya pada 5–10 persen kerentanan yang benar-benar berisiko tinggi.
Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan sistem yang tak hanya mendeteksi, tapi juga langsung membantu menindak. Salah satu solusi yang kini menjadi andalan banyak organisasi adalah ESET Vulnerability & Patch Management.
Solusi ini memungkinkan organisasi melakukan pemindaian otomatis terhadap celah keamanan, lalu menambalnya secara cepat—baik secara terjadwal maupun on-demand. ESET juga menyediakan integrasi yang kuat antara tim keamanan dan operasional, sehingga proses perbaikan bisa dijalankan tanpa hambatan. Dengan visibilitas menyeluruh, dashboard yang informatif, serta otomasi patching yang konsisten, organisasi bisa menutup celah sebelum dimanfaatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab.
Bukan Sekadar Kepatuhan
Manajemen kerentanan terlalu sering dianggap sebagai tugas pelengkap sekadar memenuhi syarat audit atau regulasi. Padahal dengan makin cepatnya serangan dan makin mahalnya kerugian, pendekatan ini harus dilihat sebagai bagian inti dari strategi keberlangsungan bisnis.
Perusahaan yang visioner kini sudah bergerak ke arah sana: mereka mengintegrasikan manajemen kerentanan ke dalam framework risiko, memantau eksposur secara real-time, dan menjadikannya bagian dari pengambilan keputusan strategis.
Ancaman baru akan selalu muncul. Tapi sebelum panik soal serangan hari esok, pastikan dulu tak ada celah yang terbuka hari ini. Manajemen kerentanan bukan hanya urusan teknis. Ini adalah fondasi kepercayaan digital dan ketahanan bisnis. Dengan solusi seperti ESET, organisasi bisa berpindah dari pendekatan reaktif menuju strategi pencegahan yang proaktif dan menjaga kepercayaan pelanggan tetap utuh. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini