TEMPO.CO, Jakarta - Dari tepi Sungai Cisadane, Kalipasir, Kota Tangerang, Banten, terdapat jejak sejarah etnis Tionghoa. Berbagai rujukan sejarah menyebut diperkirakan pada abad ke-15, Tjen Tjie Lung bersama kelompok Tionghoa lainnya secara tak sengaja terdampar di muara Sungai Cisadane, atau sekarang disebut Teluk Naga, Tangerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tjen Tjie Lung merupakan saudagar Tionghoa yang kala itu memimpin rombongan. Mereka terdampar dalam perjalanan misi perdagangan menuju Jayakarta (Jakarta).
Akibat kapal yang rusak dan kehabisan perbekalan, Tjen Tjie Lung terpaksa berlabuh di Sungai Cisadane dan meminta izin kepada Kerajaan Pajajaran untuk meminta tempat bermukim sementara.
Setelah bermukim sementara, rupanya para pejabat kerajaan pada masa itu tertarik dengan beberapa perempuan yang ikut bersama rombongan Tjen Tjie Lung. Para pembesar kerajaan akhirnya menikahi beberapa gadis yang dibawa Tjen Tjie Lung. Sebagai imbalannya Tjen Tjie Lung mendapatkan sebidang tanah di timur Sungai Cisadane.
Namun, kehadiran etnis Tionghoa di timur Sungai Cisadane itu rupanya tak mendapat sambutan hangat dari Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Merujuk pada jurnal yang ditulis oleh Rosyadi dalam ‘FESTIVAL PEH CUN Menelusuri Tradisi Etnis Cina di Kota Tangerang’ yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tahun 2010, etnis Tionghoa itu mendapat tekanan dan bahkan terjadi pembantaian terhadap mereka pada 1740 oleh VOC.
Selama masa pembantaian itu banyak dari etnis Tionghoa itu melarikan diri ke daerah Benteng Makasar. Sebuah benteng yang dibangun oleh VOC untuk melindungi wilayah dari para musuh. Dari sana jugalah asal-usul penamaan Cina Benteng berasal.
Banyak warga etnis Tionghoa yang dalam masa pelarian itu bermukim di wilayah Pasar Lama, Tangerang. Di sana juga dibangun kelenteng tertua, sekitar tahun 1864, bernama Boen Tek Bio. Lima tahun berselang, dibangun lagi sebuah vihara bernama Boen San Bio (Nimmala). Dua kelenteng itulah yang menjadi dua bangunan bersejarah sekaligus menjadi saksi jejak etnis Tionghoa beranak-pinak di tanah Tangerang, Banten.
Tempo turut menyusuri dan mengamati dua bangunan tua yang kini jadi tempat peribadatan umat Buddha dan Konghucu di sana. Hanya perlu berjalan sekitar 200 meter dari tepi Kali Cisadane untuk mendapati dua tempat ibadah tersebut.
Tak hanya kelenteng dan vihara, Tempo juga menemukan Roemboer (Roemah Boeroeng) Tangga Ronggeng, Museum Benteng Heritage.
Roemboer Tangga Ronggeng merupakan satu-satunya rumah bergaya arsitektur Tiongkok klasik yag menjadi pembeda dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Rumah itu juga salah satu rumah tertua milik keturunan Tionghoa pada masa itu.
Atapnya bergaya Ceng Ai atau pelana terbalik di mana memiliki ujung yang melengkung, ciri khas rumah Tionghoa tradisional. Begitu juga ornamen pada rumah itu tampak ada ukiran naga serta beberapa simbol yang dinilai sebagai keberuntungan. Rumah tersebut didominasi warna kuning emas dan merah. Pintu rumah tersebut juga terdapat ukiran aksara mandarin serta motif kaligrafi Tionghoa.
Roemboer Tangga Ronggeng kini menjadi salah satu cagar budaya dan dijadikan salah satu museum kuliner dan ruang budaya cina peranakan. Di dalam rumah itu juga terdapat beberapa koleksi antik dan menjadi tempat ritual tradisional Tionghoa seperti Capgome dan Peh Cun, perayaan Imlek.
Rumah Roemboer Tangga Ronggeng itu kini dimiliki Udaya Halim, budayawan Tionghoa yang juga seorang Cina Benteng asli Tangerang. Rumah itu mulanya milik keluarga Pee. Pada masa itu istrinya dikenal sebagai Encim Pon, sosok ahli bordir dan perancang kebaya. Lalu pada tahun 1973, rumah itu dibeli oleh pengusaha Jakarta dan mengubahnya menjadi rumah sarang burung walet.
Pada 2013 sampai 2014, Udaya Halim membeli rumah itu dan ia merestorasi kembali rumah tersebut ke bentuk awalnya, bergaya Tiongkok tradisional. “Saya berusaha mengembalikan ke bentuk awalnya. Bagi saya ini bukan sekadar restorasi, tetapi mengembalikan memori soal sejarah peranakan Cina di sini,” ujar Udaya.
Dia juga menceritakan asal usul penamaan rumah tersebut menjadi Roemboer Tangga Ronggeng. “Roemboer itu memang sesuai namanya, karena dulu ini merupakan rumah burung atau jadi tempat sarang burung walet. Lalu tangga ronggeng itu, merujuk pada tradisi atau legenda warga lokal di tepian Sungai Cisadane.
Di area tepi sungai tersebut terdapat tangga kecil menuju sungai yang sering dipakai oleh para penari ronggeng untuk mandi ataupun untuk pertunjukan tari itu sendiri. “Nah, dari lantai dua rumah ini, kita bisa melihat dari jendela para penari itu menari ronggeng,” tutur Udaya.
Udaya turut membeli bangunan tua milik keluarga Loa, peranakan Tionghoa yang menetap secara turun-temurun di kawasan Pasar Lama, Tangerang. Bangunan tua itu berdiri tak jauh dari Kelenteng Boen Tek Bio. Bangunan itu, menurut penuturan Martin, pemandu Museum Benteng, telah berdiri sejak abad ke-17.
Pada 2009, Udaya membelinya dan menjadikan bangunan itu sebagai Museum Benteng Heritage. Museum tersebut diresmikan pada 11 November 2011. Udaya juga telah merestorasi bangunan tersebut serta memulihkan struktur kayu, lantai hingga plafon agar lebih menonjolkan nuansa Tionghoa.
Di dalam museum itu juga terdapat koleksi antik seperti sepatu yang dulu pernah dipakai perempuan Tionghoa pada masa itu. Guci, kompas fengsui serta berbagai macam timbangan, salah satunya timbangan opium, yang bermakna sebagai simbol perdagangan pada masa itu.