TEMPO.CO, Jakarta - SETARA Institute menilai pengembalian status militer aktif Letnan Jenderal atau Letjen Novi Helmy Prasetya usai menjabat Direktur Utama Perum Bulog sebagai bentuk kemunduran dalam reformasi militer. Langkah tersebut disebut bertentangan dengan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI dan berpotensi menciptakan preseden buruk dalam penempatan prajurit di jabatan sipil.
“Pengembalian status militer aktif terhadap Letjen Novi Helmy adalah potret regresi reformasi berlapis. Penunjukan dan pengembalian status ini mengabaikan prinsip prajurit harus mengakhiri dinas militer terlebih dahulu untuk menduduki jabatan sipil, sebagaimana diatur Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU TNI," kata Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, dalam siaran pers yang diterima pada Jumat, 5 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, merujuk penjelasan Pasal 55 huruf c UU TNI, ketika pensiun, prajurit tersebut selesai melaksanakan kedinasan militer untuk kembali ke masyarakat. "Pengembalian status militer aktif pascapensiun menjadi preseden yang mengganggu regenerasi di internal TNI jika dijalankan tanpa ketentuan yang jelas," tutur dia.
Letjen Novi sebelumnya diangkat menjadi Dirut Bulog melalui Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-30/MBU/02/2025 tertanggal 7 Februari 2025. Jabatan tersebut, kata Ikhsan, tidak termasuk dalam daftar jabatan sipil yang diperbolehkan untuk diisi prajurit aktif. Pada saat penunjukan, TNI menyebut Novi tengah dalam proses pensiun dini.
Namun pernyataan berbeda kemudian disampaikan Kepala Pusat Penerangan TNI (Kapuspen TNI) Mayjen Kristomei Sianturi, yang menyebut penempatan Letjen Novi bentuk penugasan institusional dan bagian dari dukungan TNI terhadap kebijakan pemerintah.
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri ini mengatakan, perpindahan yang dilakukan justru mempertegas Letjen Novi belum benar-benar keluar dari dinas militer saat menjabat sebagai Dirut Bulog. “Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Letjen Novi hanya berpindah seragam untuk sementara, tanpa mengakhiri status keanggotaannya di TNI,” ujar Ikhsan.
Merisa Dwi Juanita, peneliti HAM dan Keamanan SETARA lainnya, menyebut pengembalian status aktif Letjen Novi ke tubuh TNI sebagai langkah yang mengganggu regenerasi personel dan menciptakan kebingungan tata kelola. “Penempatan semacam ini, tanpa mekanisme yang transparan dan akuntabel, bisa menjadi jalan belakang untuk menabrak aturan main sipil-militer,” kata Merisa.
Ia juga mengkritik dalih kebutuhan organisasi dan pembinaan personel sebagai alasan pengembalian Letjen Novi ke TNI. Menurutnya, argumen tersebut mengabaikan mandat Pasal 11 UU TNI yang menyatakan postur TNI harus dibangun dalam rangka menghadapi ancaman militer, bukan untuk mendukung administrasi pemerintahan sipil.
SETARA menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik penempatan prajurit TNI di jabatan sipil, serta menuntut Presiden dan Panglima TNI untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip reformasi sektor keamanan. “Dukungan terhadap kebijakan pemerintah tidak boleh menjadi alasan untuk melonggarkan kepatuhan terhadap UU TNI,” ujar Ikhsan.