TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pakar hukum tata negara menyoroti kencangnya penolakan terhadap putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum di nasional dan daerah.
Ketua Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Bivitri Susanti menduga, penolakan itu berkaitan dengan agenda mengubah sistem pemilihan kepala daerah atau pilkada dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu mengatakan, wacana itu sebelumnya sudah pernah diungkap oleh Presiden Prabowo Subianto. Mayoritas fraksi DPR merupakan koalisi Indonesia Maju (KIM) plus yang mendukung pemerintahan Prabowo. Dengan begitu, mereka akan mendukung rencana tesebut.
Menurut Bivitri, putusan MK yang memisahkan pemilihan umum nasional dan lokal akan menganggu rencana tersebut. "Agenda itu kan jadi terganggu. Dengan adanya putusan ini yang justru ingin merapikan pemilu Pilkada itu, " kata Bivitri dalam webinar yang diadakan CALS pada Ahad, 6 Juli 2025.
Dugaan lain, putusan MK itu akan menganggu tradisi kampanye yang diterapkan oleh partai politik. Bivitri mencontohkan pola pada pemilu 2024 lalu. Setiap calon anggota legislatif wajib juga mengkampanyekan calon presidennya.
Biasanya, kampanye calon presiden lebih aktif ketimbang diri sendiri. "Nah pola itu tidak mau diubah. Karena ya menguntungkan. Jadi sekalian nebeng gitu ibaratnya, " ujar dia.
Padahal, menurut Bivitri, pemisahan jadwal itu akan menguntungkan partai politik. Partai jadi memiliki waktu untuk menyiapkan kader berkualitas.
Bivitri pun menegaskan, MK tidak keliru dalam membuat putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu. MK menjalankan tugas konstitusionalnya. Dia mengkaji gugatan berdasarkan permohonan dan spesifik berdasarkan pasal yang dimohonkan.
"Nah, kemudian MK akan mencoba untuk meluruskan kalau ada tafsir atas konstitusi yang keliru di pasal itu. Nah, itu yang dia lakukan dengan putusan yang hari ini kita diskusikan, " ujar dia.
Anggota CALS Zainal Arifin Mochtar mengatakan, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu menguji 4 pasal yang berbicara mengenai keserentakan dan kepemiluan. MK juga mempertimbangkan putusan ini berdasarkan evaluasi pelaksanaan pemilu.
Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) ini menjelaskan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, ada 6 opsi model keserentakan pemilu yang bisa diterapkan.
Salah satu opsi itu yakni model pemilu nasional dan lokal dilakukan serentak yang dijalankan pada pemilu 2024. "Dari situ, MK melakukan evaluasi, " kata dia dalam Webinar yang sama.
Menirut Zainal, MK melihat banyak kerumitan dalam pemilu 2024 mulai dari persiapan penyelenggara pemilu hingga persiapan parpol menyiapkan kader. Kerumitan juga terjadi pada pemilih yang kesulitan memilih karena dihadapkan banyak calon. "Isu lokal menjadi mati. Kejenuhan pemilu. Itu jadi pertimbangan MK, " ujar dia.
Selain itu, Zaenal mengatakan, MK juga menyoroti kebiasaan DPR dan pemerintah yang mengubah UU di ujung pelaksanaan pemilu. Masalahnya, mengubah UU lebih banyak karena alasan politik bukan membentuk sistem kepemiluan yang baik. "Selalu di ujung-ujung. Bahkan tidak mengubah sedikit pun. Tidak mengubah ada banyak problem. Meski lebih banyak keputusan politik ketimbang kepemiluan, " ujar dia.
Menurut Zaenal, putusan MK ini harus dijadikan momentum pembuat UU untuk memperbaiki proses demokrasi serta menguatkan sistem UU politik dan UU pemerintah daerah. Namun, Zaenal menyayangkan DPR yang justru fokus pada penyelesaian masa transisi.
Padahal, MK sudah memberikan keleluasaan kepada UU untuk mengatur masa transisi itu dengan mudah. "Apakah diatur perpanjangan. Bagaimana mengaturnya itu diserahkan kepada pembuat UU, " ujar dia.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Viola Reininda mengatakan, putusan MK akan meningkatkan kualitas pemilihan umum. Sebab, mengurangi banyak sengketa pemilihan di kemudian hari.
"Kalau masih serentak potensi akses kepemiluan tak selesai di tahap penyelenggara saat pilkada. Jadi dia muncul dan bermuara ke gugatan sampai ada pemilihan suara ulang," kata dia dalam webinar yang sama.
Selain itu, Viola mengatakan, pemisahan jadwal itu akan membuat penyelenggara pemilihan umum lebih siap. Penyelenggara pemilu tidak serentak juga akan menghindari kelelahan panitia. Sehingga, menghindari banyaknya kasus panitia meninggal akibat kelelahan pada pemilu-pemilu sebelumnya. "Jadi soal-soal kesehatan dan keamanan penyelenggara bisa dipikirkan cukup dalam pembuat kebijakan, " ujar dia.
Tempo sudah meminta konfirmasi kepada Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Namun, dia belum merespons.
Wakil Ketua Umum Partai NasDem Saan Mustopa sebelumnya menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan daerah merupakan hal yang inkonstitusional. Dia menilai putusan itu menentang pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur pemilihan umum.
Dalam beleid itu disebutkan bahwa setiap lima tahun sekali pemilu diselenggarakan untuk memilih presiden-wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sehingga Saan menganggap pemisahan pemilu dan pilkada melanggar konstitusi.
"Putusan itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda," kata dia saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 1 Juli 2025. Wakil Ketua DPR itu mengatakan bahwa untuk mengakomodasi putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 maka harus ada amandemen UUD 1945.
Pada Kamis, 26 Juni 2025, MK memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pemilu nasional yang berdekatan dengan pemilu lokal menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat menilai kinerja pemerintahan dalam hasil pemilu nasional. Dalam rentang waktu yang sempit itu, hakim menilai pelaksanaan pemilu yang serentak menyebabkan masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Dian Rahma Fika berkontribusi dalam tulisan ini