TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan mengatakan pencopotan dua guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dari jabatan struktural Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai hal lumrah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan geriatrik, Siti Setiati, dicopot sebagai kepala Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine (CEEBM) RSCM-FKUI. CEEBM adalah unit di RSCM. Sedangkan dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik, Theddeus O.H. Prasetyono, dicopot dari jabatannya sebagai kepala Indonesian Clinical Training and Education Center (ICTEC) RSCM-FKUI.
Kedua guru besar FKUI itu ikut dalam aksi pernyataan sikap 158 guru besar FKUI atas kebijakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Gedung FKUI, Jakarta, 16 Mei 2025.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman mengatakan rotasi atau mutasi pegawai dilakukan karena ada kebutuhan internal organisasi. Aji menampik mutasi ada sangkut paut dengan aksi guru besar FKUI sebelumnya.
“Tidak ada kaitannya dengan isu-isu atau hal lainnya,” kata Aji saat dihubungi pada Jumat, 4 Juli 2025.
Ditemui di Gedung Kiara RSCM di Jakarta Pusat, Direktur Utama RSCM Supriyanto membantah pencopotan terkait dengan sikap kritis kedua gurus besar tersebut. Ia menegaskan bahwa keduanya bukan dicopot, melainkan dirotasi. Sebab, kata dia, keduanya hanya terkena rotasi dan itu merupakan hal yang wajar dalam organisasi.
Apalagi keduanya masih memiliki jabatan fungsional di RSCM. “Rotasi adalah hal biasa di dalam organisasi moderen,” kata Supriyanto di RSCM, Jakarta Pusat, 3 Juli 2025.
Supriyanto mengatakan alasan rotasi keduanya karena Siti Setiati dan Theddeus memang sudah lama memimpin unit di RSCM. Bahkan, kata dia, Siti sendiri yang ingin berhenti sebagai kepala CEEBM karena sudah terlalu lama memimpin.
Supriyanto menjelaskan bahwa rotasi tidak bisa dihubungkan dengan aksi guru besar FKUI. Sebab rotasi diputuskan jauh hari sebelum pernyataan sikap. “Enggak. Kan itu jauh di bulan Mei sama Maret. Jadi kadang-kadang orang itu mengkait-ngaitkan,” ujarnya.
Kepada Tempo, Ati—panggilan Siti Setiati, membenarkan pencopotannya sebagai kepala CEEBM. Namun Ati membantah pencopotannya berhubungan dengan aksi guru besar FKUI pada medio Mei. Ia mengaku berhenti sebagai kepala CEEBM karena sudah 10 tahun menjadi kepala unit tersebut.
“Kebetulan saja waktu pergantian tersebut terjadi bertepatan atau beberapa minggu sebelum ‘keramaian’ yang terjadi di FKUI,” kata Ati saat dimintai dikonfirmasi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Theddeus juga mengkonfirmasi pencopotannya sebagai kepala ICTEC. Teddy—panggilan akrabnya, mengatakan ia merupakan pendiri dan sudah 15 tahun memimpin ICTEC. Setali tiga uang dengan Ati, Teddy menilai pemberhentiannya tidak tersangkut dengan aksi guru besar FKUI.
“Saya tidak melihat ada nuansa terhubung dengan aktivitas kami dua bulan terakhir ini,” kata Teddy saat dihubungi pada Selasa, 1 Juli 2025.
Teddy mengatakan pemberhentiannya juga terjadi sebelum aksi guru besar. Ia diganti pada 1 Mei 2025 atau dua pekan sebelum pernyataan sikap guru besar FKUI. Ia juga menepis keterlibatannya dengan aksi tersebut disebabkan karena pencopotannya.
Kendati RSCM tak memberi alasan pencopotan secara langsung, Teddy menilai pergantian jabatannya wajar karena ia sudah belasan tahun memimpin unit RSCM tersebut.
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam membenarkan pencopotan jabatan struktural dua guru besar tersebut dari manajerial RSCM. Menurut Ari, apabila memang keduanya dicopot karena bersikap kritis, tentu mereka sudah siap dengan konsekuensinya.
“Teman-teman semua sudah siap akan konsekuensi dari perjuangan ini,” kata Ari lewat pesan WhatsApp pada Rabu, 2 Juli 2025.
Dua bulan lalu Teddy dan Ati vokal mengkritik kebijakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Keduanya merupakan bagian dari 158 guru besar FKUI yang menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan kesehatan nasional saat ini.
Saat itu Ati menyampaikan bahwa penyederhanaan pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia bermasalah. Menurut dia, menjadi seorang dokter bukan sekadar menjalani pelatihan teknis sehingga tidak dapat dianggap untuk bisa disederhanakan.
"Menjadi seorang dokter adalah melalui proses pendidikan akademik yang panjang, ketat, bertahap sesuai filsafat kedokteran yang mendasari layanan kesehatan," kata Siti.
Para guru besar FKUI juga mengkritik Penyelenggaraan pendidikan dokter di luar sistem universitas. Ati mengatakan pelaksanaan pendidikan dokter seharusnya memerlukan kerja sama dengan fakultas kedokteran. Siti mengatakan bila pendidikan kedokteran tanpa sinergi yang baik justru menimbulkan ketimpangan kualitas antar dokter.
"Juga meningkatkan risiko kesalahan dalam pelayanan medis, yang pada akhirnya bisa merugikan pasien serta masyarakat luas," katanya.
Teddy menyampaikan keprihatinannya terhadap sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Salah satu yang disorot ialah perihal framing buruk terhadap profesi dokter maupun tenaga kesehatan. Menurut dia, pelabelan itu bisa menyebabkan penurunan kepercayaan pada dokter ataupun tenaga kesehatan Tanah Air.
"Dan ini dapat dimanfaatkan oleh pelayanan kesehatan negara lain," kata dia di Gedung FKUI, Jakarta, Jumat, 16 Mei 2025.
Novali Panji Nugroho dan Salsabilla Azzahra Octavia berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: DPR Terima Usul 24 Nama Calon Duta Besar, Ada Nama Adik Luhut