Liputan6.com, Jakarta Teka-teki besar COVID-19 masih belum selesai termasuk soal dari mana sebenarnya vrus SARS-CoV-2 berasal.
Setelah tiga tahun penyelidikan, simpulan ilmiah Scientific Advisory Group for the Origins of Novel Pathogens (SAGO) masih belum final.
Semua hipotesis masih harus dipertimbangkan—baik teori zoonosis (penularan dari hewan ke manusia) maupun kemungkinan kebocoran laboratorium. Namun, bobot bukti yang tersedia saat ini cenderung mendukung skenario spillover zoonotik atau perpindahan patogen dari hewan ke manusia, baik langsung dari kelelawar maupun lewat inang perantara.
“Tapi mari kita jujur. Ini bukan hanya urusan sains. Ini adalah soal keterbukaan data, integritas global, dan keadilan antarmanusia,” kata epidemiolog dokter Dicky Budiman, PhD., dalam keterangan tertulis dikutip pada Jumat (4/7/2025).
Secara ilmiah, lanjutnya, skenario zoonosis adalah hipotesis yang paling mungkin terjadi. Pasalnya, coronavirus sebelumnya sudah dua kali menyebar dari hewan ke manusia: SARS-CoV tahun 2002 dan MERS-CoV tahun 2012.
Virus ini memiliki kemiripan genetik tinggi dengan coronavirus yang ditemukan pada kelelawar tapal kuda di Tiongkok Selatan.
Banyak virus dari kelelawar memerlukan inang perantara sebelum bisa beradaptasi ke manusia, seperti musang atau trenggiling.
Pemerintah memulai program vaksinasi untuk anak usia 6-11 tahun. Penyuntikan vaksin Covid-19 pada anak dibutuhkan seiring kembali dimulainya belajar tatap muka serta meningkatnya mobilitas.
Data Awal di Wuhan Belum Terbuka Sepenuhnya
Bukti awal menunjukkan bahwa beberapa kasus COVID-19 pertama ada hubungannya dengan pasar Huanan di Wuhan, tempat dijualnya hewan liar hidup.
“Namun, tetap ada celah besar, yakni data dari awal epidemi di Wuhan masih tidak terbuka sepenuhnya. Kita tidak tahu siapa pasien pertama secara pasti, dari mana dia terpapar, dan apakah ada hewan yang terinfeksi di pasar tersebut. Tanpa data itu, kita hanya bisa membangun hipotesis dari serpihan informasi,” jelas Dicky.
“Sebagai epidemiolog, saya tidak bisa menolak kemungkinan lain hanya karena itu sensitif. Hipotesis kebocoran laboratorium, meskipun kecil kemungkinannya, tetap harus diselidiki,” tambahnya.
Bukan karena ada bukti yang kuat mendukungnya, tapi karena:
- Ada laboratorium virologi besar di Wuhan yang meneliti coronavirus.
- Kurangnya transparansi mengenai protokol biosafety dan eksperimen yang dilakukan.
- Beberapa dokumen penting dan data laboratorium belum diungkap ke komunitas ilmiah global.
Tidak Transparan Timbulkan Kecurigaan
Meski begitu, sambung Dicky, perlu diingat bahwa tidak ada bukti kuat atau konklusif bahwa virus ini dimodifikasi secara rekayasa genetik atau bocor secara sengaja dari laboratorium.
“Sampai hari ini, asumsi ‘lab leak’ tetap berada di wilayah spekulasi. Namun, justru karena tidak ada transparansi, kecurigaan ini sulit disingkirkan sepenuhnya,” ujar Dicky.
Adapun masalah utama yang dihadapi para peneliti dalam mengungkap asal usul COVID-19 adalah ketertutupan data dan kegagalan diplomasi kesehatan.
Inilah masalah paling mendasar yang diungkap oleh laporan SAGO yang menyatakan kekurangan data penting dari Tiongkok, terutama dari fase-fase awal pandemi.
Sejauh ini, SAGO yang bergerak di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah meminta:
- Ratusan sekuens genetik pasien awal.
- Informasi detail tentang hewan di pasar Wuhan.
Permintaan soal audit keselamatan laboratorium di Wuhan hingga kini belum dipenuhi. Akibatnya ketika data tidak diberikan, proses ilmiah menjadi terhambat. Ketika negara menutup akses, upaya pencegahan pandemi global menjadi lumpuh.
“Kondisi ini menyingkap kelemahan arsitektur kesehatan global kita. WHO hanya bisa meminta, bukan memaksa. Organisasi ini tidak punya wewenang seperti inspektur senjata PBB. Di tengah krisis global, WHO menghadapi tantangan besar: menjadi netral dan ilmiah, tapi juga bersuara lantang atas ketidaktransparanan,” ujar Dicky.
Tujuan Mengetahui Asal Usul COVID-19
Ketua SAGO, Prof. Marietjie Venter, mengatakan bahwa ini bukan sekadar usaha ilmiah, melainkan tanggung jawab etis.
Dicky sepakat bahwa mengetahui asal-usul virus ini bukan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu akademis, tapi:
- Mencegah pandemi berikutnya.
- Melindungi generasi mendatang.
- Menghindari miliaran dolar kerugian ekonomi global.
- Menjaga kepercayaan publik pada sains dan institusi global.
“Karena itu, negara mana pun yang memiliki informasi penting—bukan hanya Tiongkok—punya kewajiban moral untuk membagikannya secara transparan,” pungkasnya.