Liputan6.com, Jakarta Memiliki atau menambah jumlah anak adalah hal yang mahal di zaman sekarang.
Menurut State of World Population Report (SWP) 2025 yang dipublikasi United Nations Fund for Population Activities (UNFPA), jutaan orang tidak bisa memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Bukan karena mereka tidak ingin tapi hambatan ekonomi dan sosial menjadi penghalang.
Ini adalah temuan kunci dari laporan Situasi Kependudukan Dunia alias SWP 2025 yang berjudul Krisis Fertilitas Sesungguhnya: Membangun Kekuatan Individu untuk Mengambil Keputusan Reproduksi di Dunia yang Terus Berubah.
Penelitian di 14 negara –yang menjadi tempat tinggal lebih dari sepertiga penduduk global – termasuk Indonesia menunjukkan, 1 dari 5 orang secara global memperkirakan tidak akan memiliki jumlah anak yang mereka inginkan.
Dari 1.015 responden di Indonesia yang disasar oleh survei yang dilakukan secara online itu, pemicu utamanya adalah biaya membesarkan anak yang tinggi, ketidakstabilan pekerjaan, perumahan, kekhawatiran tentang situasi dunia, dan tidak adanya pasangan yang sesuai. Gabungan antara ketidakstabilan ekonomi dan norma yang mendiskriminasi gender berperan dalam permasalah ini.
“Krisis fertilitas sesungguhnya bukanlah soal orang yang tidak ingin punya anak, melainkan banyak yang ingin punya anak tapi tidak mampu. Laporan ini menemukan bahwa dari responden yang disurvei, lebih dari 70 persen orang ingin punya dua anak atau lebih,” kata UNFPA Indonesia Representative, Hassan Mohtashami, pada press briefing SWP 2025 di Jakarta, Kamis (3/07/2025).
“Kita harus merespons pada apa yang dibutuhkan individu dalam membuat pilihan fertilitas mereka, seperti cuti melahirkan, layanan fertilitas yang terjangkau, dan lingkungan yang mendukung.”
Fenomena childfree ramai jadi pembicaraan. Pro kontra terkait pemilihan jalan hidup ini jadi polemik di masyarakat. Mengapa seseorang memilih childfree? Apa pula yang idealnya perlu dipersiapkan ketika kita memilih untuk memilih childfree atau memili...
Mayoritas Responden Tak Tambah Anak karena Keterbatasan Finansial
Data di laporan SWP menemukan bahwa kebanyakan orang ingin memiliki dua anak atau lebih (62 persen perempuan, 61 persen laki-laki). Dan di Indonesia, 74 persen perempuan dan 77 persen laki-laki ingin memiliki dua anak atau lebih.
Hampir 20 persen orang, di bawah usia 50 tahun, memperkirakan tidak akan mencapai jumlah keluarga yang mereka inginkan. Di Indonesia, 17 persen percaya bahwa mereka akan memiliki lebih sedikit anak daripada yang mereka inginkan, sementara 6 persen percaya bahwa mereka akan memiliki lebih banyak.
Lebih dari 40 persen orang yang berusia di atas 50 tahun tidak memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Di Indonesia, 40 persen memiliki lebih sedikit dari yang ideal, 8 persen memiliki lebih banyak, 38 persen mencapai jumlah ideal.
Keterbatasan finansial adalah alasan utama orang tidak memiliki jumlah anak yang mereka inginkan.
Di Indonesia, tiga alasan teratas yang disebutkan adalah keterbatasan finansial (39 persen), keterbatasan perumahan (22 persen), dan ketidakamanan pekerjaan/pengangguran (20 persen).
Fokus Bangun Keluarga Berkualitas
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Pengendalian Kependudukan, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN), Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, S.Si., M.Eng, menegaskan bahwa peran BKKBN adalah memastikan pembangunan keluarga yang berkualitas dan pembangunan kependudukan yang fokus pada manusia.
Pemerintah sudah menyiapkan Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK) untuk 20 tahun ke depan. Yang kemudian dilaksanakan melalui Peta Jalan Pembangunan Kependudukan 5 tahunan di mana akan diimplementasi dalam bentuk Rencana Aksi per tahun.
"Laporan SWP menjadi masukan dari kebijakan kependudukan. Pemerintah juga sudah memiliki strategi dan program dalam mengoptimalkan layanan KB, kesehatan ibu dan anak, angkatan kerja perempuan, serta kesejahteraan keluarga seperti Quick Wins Kemendukbangga yang di antaranya ada Taman Asuh Sayang Anak," kata Bonivasius
Indonesia Tak Sedang Alami Krisis Fertilitas
Bonivasius menambahkan, implementasi program BKKBN yang disusun dalam bentuk Peta Jalan Pembangunan Kependudukan dan Rencana Aksi di tingkat daerah disusun secara asimetris. Hal ini karena capaian program BKKBN antar daerah berbeda, seperti dalam capaian rata-rata angka kelahiran atau total fertility rate (TFR).
"Di kota-kota ada tekanan ekonomi sehingga TFR cenderung rendah di bawah 2. Tapi di sejumlah daerah masih tinggi di atas 2,5 seperti di Papua dan NTT. Masih terjadi disparitas. Maka, pendekatan atau intervensinya harus berbeda antar daerah," papar Bonivasius.
Dengan kondisi seperti itu, Bonivasius menegaskan Indonesia tidak dalam kondisi krisis fertilitas, sehingga program KB tetap diperlukan. Ia kemudian menyinggung fenomena childfree, yang dinilai belum begitu mengkhawatirkan untuk Indonesia.
"Angka childfree di negara kita sangat rendah, masih 0,001 persen. Namun fenomena ini harus menjadi perhatian kita juga, karena sudah terjadi di beberapa negara," terang Bonivasius.