TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Divisi Riset Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Susi Solikhatun, menceritakan bagaimana dampak negatif dari keracunan massal pada ratusan siswa di Bogor, Jawa Barat, usai mengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Mei lalu. Susi mengaku dekat dengan orang tua dari seorang anak pendidikan anak usia dini (PAUD) yang menjadi salah satu korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susi mengatakan orang tua korban merupakan ibu menyusui yang juga menjadi target penerima MBG. Ia menyebut bahwa hari itu menu yang disajikan berisi nasi, telur, dan tumis tauge serta tahu.
Menu itu diedarkan untuk seluruh siswa dari tingkat PAUD, TK, SD hingga SMP dari sebuah yayasan yang enggan ia sebutkan. "Hari itu hari pertama Makan Bergizi Gratis," ujar Susi dalam acara diskusi di Ruang Belajar Alex Tilaar, Jakarta Pusat, pada Jumat, 20 Juni 2025.
Menurut Susi, korban yang berusia tiga tahun mengalami kerugian kesehatan yang signifikan. "Yang terjadi adalah salah satu anak teman saya mengalami keracunan di hari itu. Dan proses pemulihannya selama 10 hari," katanya. Adapun keluhan korban saat itu ialah perut yang terasa melilit.
Gejala keracunan yang dialami korban lain, kata Susi, adalah anak-anak yang mengalami muntah berak. Menurut Susi keracunan itu menimbulkan efek berkepanjangan pada anak temannya. "Minggu lalu dia masuk IGD karena mengalami intoleransi makanan," ujarnya kemudian.
Lebih lanjut, keracunan itu juga dikaitkan dengan perlambatan proses pertumbuhan sang anak. Susi mengatakan sejak terjadinya keracunan massal sampai hari ini anak itu tidak mengalami kenaikan tinggi badan. Sehingga ia menganggap keracunan tersebut juga berpengaruh terhadap pertumbuhan.
Susi yang mengamati pola makan keluarga korban juga menyebut bahwa menu-menu MBG membuat siswa PAUD ketagihan susu kemasan dengan rasa buatan. Setelah merasakan aneka susu rasa stroberi hingga cokelat, sang anak kemudian menginginkannya juga di luar sekolah.
"Itu cukup merusak karena pola makannya akhirnya berubah. Dia akhirnya mengalami sugar rush berlebihan karena tidak cukup meminum satu kemasan," tutur Susi. Walhasil, Susi menyimpulkan bahwa MBG bisa mengubah budaya makan keluarga menjadi tidak lebih sehat karena memperkenalkan produk susu olahan.
Atas temuan tersebut, Susi menyangsikan efektivitas MBG untuk mencegah stunting seperti yang diinginkan pemerintahan Presiden Prabow Subianto. "Ini tidak mengatasi stunting justru menjadi penyebab stunting bila anak PAUD keracunan makanan dan mengalami efek samping yang panjang," ucapnya.
Sebelumnya per 11 Mei 2025, sebanyak 210 siswa dari jenjang TK hingga SMP menderita gejala keracunan setelah menyantap makanan MBG. Sebanyak 22 siswa harus dirawat di rumah sakit, sementara puluhan lainnya menjalani perawatan jalan dan sisanya mengalami gejala ringan.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana membeberkan penyebab keracunan massal berdasarkan uji laboratorium pada sampel makanan. Menurut Dadan penyebabnya adalah adanya bakteri salmonella dan E. Colli dalam bahan baku yang digunakan seperti telur dan sayuran.