Liputan6.com, Jakarta Perubahan emosi selama kehamilan adalah fenomena umum yang dialami oleh banyak calon ibu, seringkali memicu kondisi yang dikenal sebagai "pre-baby blues" atau depresi antepartum.
Kondisi ini memiliki gejala serupa dengan baby blues pasca-melahirkan, namun terjadi lebih awal. Memahami dan mengelola fluktuasi emosi ini menjadi sangat penting untuk menjaga kesehatan mental ibu.
Fenomena ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan mental ibu, tetapi juga berpotensi berdampak pada perkembangan janin. Oleh karena itu, langkah-langkah proaktif dalam mengelola emosi perlu diambil sejak dini.
Identifikasi dini gejala dan penyebab dapat membantu ibu hamil menghadapi masa kehamilan dengan lebih tenang. Dengan strategi yang tepat, calon ibu dapat meminimalkan risiko terjadinya kondisi ini, memastikan pengalaman kehamilan yang lebih positif dan mempersiapkan diri untuk peran sebagai orang tua dengan lebih baik. Apa saja caranya?
Memahami Perubahan Emosi Selama Kehamilan
Sejak awal kehamilan, ibu hamil muda seringkali dihadapkan pada berbagai emosi yang bercampur aduk, mulai dari rasa senang yang meluap hingga kekhawatiran mendalam.
Perubahan emosi yang tidak stabil ini umumnya muncul pada usia kehamilan 6-10 minggu pertama, sering membaik menjelang trimester kedua, namun dapat muncul kembali menjelang persalinan.
Penelitian dari Yacov Rofe, Mordechai B Littner, dan Issac Lewin pada tahun 1993 dalam jurnal yang dirilis National Library of Medicine menunjukkan perasaan perempuan selama trimester pertama ditandai dengan gejala yang berkaitan dengan perubahan fisiologis (misalnya, mual, muntah, pusing), selama trimester terakhir, kecemasan dan tekanan emosional menjadi gejala yang paling signifikan.
Tingkat pengalaman gejala-gejala ini dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi subjek, jumlah kelahiran sebelumnya (primapara atau multipara), dan tipe kepribadiannya (represor atau sensitizer).
Baby blues merupakan kondisi emosional sementara yang ditandai dengan perasaan sedih, mudah marah, cemas, dan mudah menangis. Meskipun lebih sering terjadi setelah melahirkan, beberapa wanita melaporkan mengalami kondisi serupa lebih awal, yaitu selama masa kehamilan, yang dikenal sebagai pre-baby blues atau depresi antepartum. Gejala ini memerlukan perhatian serius agar tidak berkembang menjadi kondisi yang lebih parah.
Gejala baby blues selama kehamilan umumnya sama dengan yang terjadi setelah melahirkan, meliputi perasaan sedih yang berkepanjangan, kecemasan berlebihan, perubahan suasana hati (mood swings) yang drastis, mudah tersinggung, hingga kesulitan tidur dan makan.
Gejala lain yang mungkin muncul adalah sulit berkonsentrasi, kurang atau terlalu banyak tidur, kehilangan minat pada kegiatan yang biasanya disukai, perasaan bersalah, perubahan kebiasaan makan, hingga pikiran tentang kematian atau bunuh diri.
Penyebab Perubahan Emosi dan Risiko Baby Blues
Penyebab utama perubahan emosi pada ibu hamil adalah peningkatan kadar hormon progesteron dan estrogen yang signifikan (Nabilatus Saadah Krismono dan Sultan Arif, 2025 dalam Jurnal WJARR).
Fluktuasi hormon ini dapat memengaruhi kondisi kimiawi pada bagian otak yang mengatur suasana hati, menyebabkan ketidakstabilan emosional. Setelah melahirkan, terjadi penurunan drastis hormon estrogen dan progesteron yang juga memicu perubahan suasana hati.
Selain perubahan hormon, stres yang tinggi, kelelahan fisik, dan perubahan metabolisme tubuh juga dapat menyebabkan emosi ibu hamil menjadi tidak stabil. Faktor-faktor ini seringkali saling berkaitan dan memperburuk kondisi psikologis. Mengelola stres dan memastikan istirahat yang cukup menjadi kunci penting dalam menjaga keseimbangan emosi.
Beberapa faktor risiko lain dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya baby blues, termasuk masalah hubungan dengan pasangan, kurangnya dukungan dari keluarga atau teman, riwayat depresi sebelumnya, serta komplikasi kehamilan.
Peristiwa hidup yang penuh tekanan, seperti masalah finansial atau kehilangan pekerjaan, juga dapat menjadi pemicu. Kesulitan beradaptasi dengan status baru sebagai ibu dan tanggung jawab yang menyertainya, serta kurang istirahat, juga menjadi faktor penyebab baby blues.
Strategi Mengatur Emosi dan Mencegah Baby Blues
Salah satu kunci utama untuk mengatur emosi dan mencegah baby blues adalah dengan menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh, dimulai dari istirahat yang cukup.
Tidur yang berkualitas sangat penting untuk memulihkan energi dan memperbaiki suasana hati yang tidak stabil. Laman Hello Sehat menyebut banyak istirahat sangat disarankan untuk menekankan pentingnya waktu istirahat bagi ibu hamil.
Menerapkan gaya hidup sehat juga merupakan fondasi penting dalam mengelola emosi. Mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan menjaga tubuh tetap terhidrasi dapat secara signifikan meningkatkan produksi hormon bahagia dan mengurangi risiko baby blues. Penting untuk menghindari makanan berkafein, tinggi gula, karbohidrat olahan, dan berpengawet yang dapat memengaruhi suasana hati.
Aktivitas fisik ringan secara teratur, seperti berjalan kaki santai atau yoga prenatal, dapat menjadi cara efektif untuk memperbaiki suasana hati dan meningkatkan kualitas tidur. Olahraga teratur membantu tubuh melepaskan endorfin, hormon alami yang dapat meningkatkan perasaan senang dan mengurangi stres.
Pentingnya komunikasi dan dukungan sosial tidak dapat diabaikan. Saat pikiran terasa terlalu penuh atau emosi tidak terkendali, cobalah untuk berbicara dengan suami, keluarga, atau orang yang dipercaya.
Dukungan emosional dari pasangan dan keluarga sangat krusial dalam proses ini. Suami diharapkan dapat menjadi pilar utama yang membantu ibu hamil terhindar dari sindrom ini. Dukungan ini meliputi mendengarkan tanpa menghakimi, memvalidasi perasaan, dan menawarkan kepastian.