Liputan6.com, Jakarta Real Madrid dipermalukan di hadapan dunia. Bertanding di semifinal Piala Dunia Antarklub 2025, Los Blancos dihajar habis-habisan oleh PSG dengan skor telak 0-4. Hasil yang harus dilihat secara serius oleh Real Madrid.
Ini memang kekalahan pertama mereka pada ajang tersebut. Namun, Kekalahan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga membuka banyak masalah mendasar yang belum mampu diselesaikan oleh sang pelatih anyar, Xabi Alonso.
Dengan musim 2025/2026 tinggal menghitung minggu, Alonso harus bergerak cepat. Kekalahan dari PSG bukan sekadar hasil buruk, tapi juga cermin dari taktik yang keliru, seleksi pemain yang dipertanyakan, serta ketidakseimbangan tim secara menyeluruh.
Berikut empat hal krusial yang harus dievaluasi Alonso usai kegagalan memalukan ini.
Formula 3 Penyerang: Risiko yang Tidak Perlu
Keputusan Xabi Alonso untuk memainkan tiga penyerang sekaligus, Kylian Mbappe, Gonzalo Garcia, dan Vinicius Junior, menjadi titik awal kehancuran Real Madrid. Dalam lima laga sebelumnya di Piala Dunia Antarklub, Alonso selalu sukses dengan skema dua penyerang.
Tapi melawan PSG, ia justru bereksperimen dengan formasi yang lebih ofensif tanpa alasan yang jelas. Hasilnya? Madrid tumpul di depan dan kacau di belakang.
Ketiganya tidak memiliki koneksi yang padu. Mbappe yang sejatinya lebih efektif sebagai striker justru ditarik ke sisi lapangan, sementara Vinicius Júnior kehilangan tajinya ketika dimainkan di posisi yang bukan favoritnya.
Pasca pertandingan, Alonso secara terbuka mengakui bahwa ia keliru dalam menyusun starting XI. Madrid jelas membutuhkan keseimbangan, bukan sekadar menumpuk bintang di lini depan.
Kylian Mbappe jadi Biang Masalah?
Kylian Mbappe memang membawa daya tarik global, tetapi performanya melawan mantan klubnya sangat mengecewakan. Ia mencatat jumlah sentuhan paling sedikit dari seluruh pemain outfield yang bermain penuh, dan gagal menciptakan peluang!
Salah satu sorotan utama adalah enggannya Mbappe untuk melakukan pressing. Sementara PSG terus menekan tinggi dan agresif, Mbappe justru terlihat pasif dan tidak membantu lini tengah yang terus tertekan.
Jika Alonso ingin membangun Madrid yang modern dan kompetitif, ia harus membuat setiap pemain, termasuk megabintang seperti Mbappe, tunduk pada sistem kerja kolektif. Tanpa kerja keras dari lini depan, tekanan lawan sulit diputus sejak awal. Saat Dembele mencetak gol melalui pressing tinggi, kontras dengan performa Mbappe terasa begitu mencolok.
Krisis di Posisi Bek Kiri, Sebuah Masalah Klasik!
Krisis di posisi bek kiri kembali menjadi titik lemah utama dalam pertandingan melawan PSG. Ferland Mendy masih dibekap cedera, sementara Fran Garcia yang diplot sebagai starter justru tampil mengecewakan.
Fran memang mampu membantu serangan dengan baik saat menghadapi lawan yang levelnya di bawah Madrid. Namun melawan PSG, kelemahannya dalam bertahan begitu terekspos. Ia kesulitan menjaga kedalaman, terlambat turun, dan sering gagal menghentikan pergerakan lawan di sisi kanan pertahanan Madrid.
Jika Madrid benar-benar ingin kembali menguasai Eropa, mereka harus berhenti menambal posisi bek kiri dengan pemain setengah matang. Ketertarikan pada Alvaro Carreras dari Benfica seharusnya ditindaklanjuti serius.
Kembalikan Raul Asencio ke Bangku Cadangan
Musim lalu, Raul Asencio tampil sebagai solusi darurat saat badai cedera melanda pertahanan Real Madrid. Namun di laga melawan PSG, ia memperlihatkan mengapa dirinya belum siap menjadi andalan utama di level tertinggi.
Bek berusia 22 tahun itu menjadi titik lemah dalam skema pertahanan Alonso, bahkan terlibat langsung dalam terciptanya gol pembuka PSG. Asencio tampil terburu-buru, minim koordinasi dengan rekan setimnya, dan terlalu mudah kehilangan posisi.
Dengan Eder Militao sudah kembali bugar, dan Dean Huijsen tampil lebih stabil, Alonso tidak boleh lagi berjudi dengan Asencio dalam laga besar. Performa di pramusim dan Piala Dunia Antarklub seharusnya cukup menjadi bahan evaluasi.