TIM Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) agar berhati-hati dalam memutus uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Putusan yang dijadwalkan pada Rabu, 17 September 2025, dianggap akan menentukan arah demokrasi sekaligus menjadi ujian integritas MK dalam menolak kembalinya dwifungsi militer.
Tim advokasi dari koalisi sipil ini menyoroti gejala meningkatnya dominasi militer di ranah sipil. Mereka mencontohkan kasus kriminalisasi pegiat media sosial Ferry Irwandi oleh Komandan Satuan Siber (Dansatsiber) Mabes TNI. Mereka menilai jika revisi UU TNI tidak dibatalkan, praktik serupa akan marak.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Tindakan tersebut menunjukkan penyalahgunaan wewenang, di mana Satsiber TNI yang seharusnya berfokus pada pertahanan siber negara justru digunakan untuk memata-matai dan mengintimidasi warga negara yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah,” demikian pernyataan bersama tim advokasi, Selasa, 16 September 2025
Koalisi juga mengkritik pengerahan 73 ribu prajurit TNI untuk mengamankan Jakarta setelah kerusuhan akhir Agustus 2025. Menurut mereka, langkah itu menunjukkan kecenderungan pelibatan militer dalam urusan sipil semakin luas.
“Kasus Ferry Irwandi dan pengerahan militer dalam jumlah signifikan di Jakarta menjadi bukti bahwa UU TNI yang baru berpotensi memberikan legitimasi kepada militer di ranah sipil dan siber,” tulis pernyataan tersebut.
Selain aspek praktik, koalisi menilai revisi UU TNI bermasalah sejak proses legislasi. Mereka menyebut pembahasan dilakukan tertutup, terburu-buru, dan tidak memenuhi prinsip partisipasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dari segi substansi, revisi dinilai melampaui mandat Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 yang hanya memerintahkan pengaturan ulang usia pensiun. Namun, revisi justru mencakup penambahan kewenangan dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan membuka jalan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil. Tim Advokasi menyatakan, putusan MK kali ini bukan semata perkara hukum administratif, melainkan ujian moral dan konstitusional.
“Apakah mahkamah bersedia berdiri bersama rakyat dalam menolak kembalinya militerisme ke ruang sipil, atau justru membiarkan konstitusi dibengkokkan demi melanggengkan kekuasaan,?"ujar pernyataan mereka.
Berdasarkan hal itu, tim advokasi meminta MK menyatakan revisi UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 secara formil, membatalkan undang-undang tersebut secara keseluruhan, serta menegakkan kembali prinsip supremasi sipil dalam sektor keamanan.
Sidang pengucapan putusan atas lima perkara uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI akan digelar pada Rabu, 17 September 2025, pukul 13.30 WIB. Salah satunya adalah perkara bernomor 81/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian formil revisi UU TNI yang diajukan sejumlah pemohon dari kalangan masyarakat sipil. Putusan ini akan menjadi penanda penting apakah proses legislasi yang dianggap cacat formil itu tetap dipertahankan atau dibatalkan.
Adapun tim advokasi ini beranggotakan perwakilan daei aejumlah lembaga yang mengajukan uji formil UU TNI, yaitu Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Institute for Policy Research and Advocacy (Imparsial), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), LBH Pers, LBH Masyarakat dan Amnesty International Indonesia.