TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai telah mengutus perwakilan dari Kantor Wilayah Kementerian HAM NTT Wilayah Kerja Bali untuk meninjau mahasiswa Papua yang menjadi korban teror kepala babi. Perwakilan Kementerian HAM yang ditugaskan, Maria Goreti Jelinda, mendatangi rumah kontrakan korban di Jalan Tukad Yeh Aya IX No. 52, Denpasar, pada Senin, 9 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lokasi tersebut merupakan salah satu titik pengiriman paket mencurigakan yang diterima dua aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Wemison Enembe dan Yuberthinus Gobay.
Maria menegaskan bahwa kunjungan ini merupakan bagian dari upaya negara untuk menjamin rasa aman seluruh warga negara. “Kami datang untuk memastikan bahwa hak atas rasa aman dan bebas dari ancaman itu dijamin oleh negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Selasa, 10 Juni 2025.
Dalam keterangan pers yang sama, Natalius Pigai menyampaikan bahwa Kementerian HAM memandang kasus ini sebagai ancaman serius terhadap hak-hak dasar warga negara, khususnya dalam hal rasa aman dan bebas dari intimidasi.
“Teror semacam ini jelas bertentangan dengan semangat persatuan serta penghormatan terhadap keberagaman di Indonesia," ujar Natalius. "Kami di Kementerian HAM akan mengkaji data yang diperoleh untuk merumuskan rekomendasi kebijakan dan langkah penanganan lebih lanjut.”
Ia juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap mahasiswa Papua yang sedang menempuh pendidikan di luar daerah. “Mahasiswa Papua berhak untuk belajar, hidup, dan beraktivitas tanpa rasa takut. Kita bersama perlu menjamin agar kejadian serupa tidak terulang kembali demi menjaga kehidupan damai di tengah masyarakat yang majemuk,” ucapnya.
Paket teror tersebut dikirim pada Jumat, 6 Juni 2025, sekitar pukul 15.00 WITA melalui layanan ojek daring. Kedua mahasiswa menerima kardus yang disebut berisi buku “Papua Bergerak”, namun setelah dibuka, isinya justru bangkai kepala babi dan tanah.
Kementerian HAM menyatakan bahwa hasil peninjauan lapangan akan didokumentasikan sebagai bahan untuk menyusun rekomendasi kebijakan perlindungan yang lebih kuat bagi mahasiswa Papua dan kelompok rentan lainnya.