
DI tengah ketidakpastian pasar keuangan global, penurunan tarif bea masuk dari Amerika Serikat (AS) memberi ruang napas baru bagi sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia yang tarifnya turun dari 32% menjadi 19%. Kebijakan ini diperkirakan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia (BI) Juli Budi Winantya menegaskan, sejumlah negara yang mendapat penurunan tarif justru diproyeksikan tumbuh lebih kuat. Indonesia misalnya, bersama Eropa dan Tiongkok, mendapat penurunan tarif signifikan.
Eropa dari 50% menjadi 15%, Tiongkok dari 145% menjadi 41%. Dampaknya, proyeksi pertumbuhan ekonomi pun direvisi naik. Eropa dari 0,9% menjadi 1%, Tiongkok dari 4,3% menjadi 4,6%, dan Jepang dari 0,8% menjadi 1%.
"Dengan tarifnya lebih rendah, kami perkirakan mereka akan tumbuh lebih tinggi ekonominya," ujarnya dalam Pelatihan Wartawan Triwulan III-2025 di DI Yogyakarta, Jumat (22/8).
Juli menyampaikan pertumbuhan ekonomi domestik sebesar 5,12% pada kuartal II 2025, mencerminkan ketahanan di tengah gejolak pasar keuangan global. Kinerja ini ditopang oleh tiga sumber utama, yakni investasi, konsumsi rumah tangga, dan ekspor.
Dari sisi investasi, kontribusi terbesar berasal dari penanaman modal dalam negeri yang terus menguat. Konsumsi rumah tangga juga menunjukkan peningkatan signifikan seiring dengan naiknya mobilitas masyarakat, yang tercermin dari belanja dan aktivitas wisata dalam negeri. Sementara itu, ekspor baik barang maupun jasa mencatat kinerja solid.
"Ekspor barang meningkat pada periode Juni–Juli, sementara ekspor jasa didorong peningkatan jumlah wisatawan mancanegara," terang Juli.
Dari sisi produksi, sektor yang tumbuh kuat antara lain industri pengolahan yang naik 5,68% pada triwulan II 2025, sejalan dengan lonjakan ekspor. Sektor perdagangan juga mencatat pertumbuhan 5,37%, didukung oleh meningkatnya mobilitas dan permintaan masyarakat. Sementara informasi dan komunikasi menjadi salah satu sektor dengan kinerja tertinggi, tumbuh 7,9%.
Secara spasial, pertumbuhan ekonomi meningkat di seluruh wilayah Indonesia, dengan kontribusi terbesar masih datang dari Pulau Jawa. Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 akan berada di kisaran 4,6% hingga 5,4%
"Pendorong utama proyeksi ini adalah investasi dan ekspor yang diperkirakan tetap kuat, terutama karena penurunan tarif dari AS," jelasnya.
Dampak dari penurunan tarif resiprokal tersebut akan memberikan keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia dibandingkan negara lain. Selain itu, belanja pemerintah (government spending) juga diproyeksikan lebih tinggi, sehingga turut memperkuat prospek pertumbuhan domestik.
BI juga meramalkan neraca pembayaran Indonesia (NPI) 2025 diperkirakan tetap sehat, didukung oleh defisit transaksi berjalan yang rendah dan terkendali dengan proyeksi dikisaran 0,5% hingga 1,3% dari produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan II 2025, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$3 miliar atau sekitar 0,8% dari PDB, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar US$200 juta atau 0,1% dari PDB.
Dari sisi kebijakan, dukungan fiskal dan langkah Bank Indonesia yang telah menyesuaikan instrumen moneter dengan penurunan suku bunga acuan atau BI Rate sebanyak lima kali sejak September 2024. Langkah ini diyakini menjadi katalis untuk menjaga momentum ekonomi nasional.
"Kita juga melakukan penambahan likuiditas yang diharapkan mendorong ekonomi lebih baik di semester II 2025," pungkasnya. (H-3)