TEMPO.CO, Jakarta - Sengketa empat pulau, yakni Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang yang terletak di antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) menemui ujung. Hal itu setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memutuskan status administrasi empat pulau tersebut resmi berada di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut, berbatasan dengan Kabupaten Aceh Singkil. Tapi ujung itu ternyata terjal.
Pemindahan empat pulau ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 terkait wilayah administratif empat pulau masuk ke wilayah Provinsi Sumut pada 25 April 2025.
Sejarah Sengketa
Menurut versi Tito, sengketa empat pulau tersebut sudah berlangsung sejak era kolonial. “Dari tahun 1928 persoalan ini sudah ada. Prosesnya sangat panjang, bahkan jauh sebelum saya menjabat. Sudah berkalih-kali difasilitasi rapat oleh berbagai kementerian dan lembaga,” ujar Tito dikutip dari Antara pada Kamis, 12 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih lanjut, Direktur Jenderal Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal Zakaria Ali, menuturkan masalah ini bermula dari upaya standarisasi nama-nama pulau yang dilakukan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada 2008 di seluruh wilayah Indonesia. Saat itu, tim dari Kemendagri melakukan proses identifikasi dan verifikasi terhadap sejumlah pulau, termasuk yang berada di wilayah Sumatera Utara dan Aceh.
“Hasil verifikasi tersebut, mendapat konfirmasi dari Gubernur Sumatera Utara, lewat surat nomor sekian, nomor 125, tahun 2009 yang menyatakan bahwa provinsi Sumatera Utara terdiri di 213 pulau, termasuk empat pulau yang tadi, yang empat pulau itu,” ujar Safrizal dalam konferensi pers di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu, 11 Juni 2025.
Proses serupa juga dilakukan di Banda Aceh. Tim Pembakuan Nama Rupabumi menemukan ada 260 pulau yang masuk wilayah Aceh. Namun, empat pulau yang tengah disengketakan itu tidak tercatat di dalamnya.
“Di Banda Aceh, tahun 2008, tim nasional pembakuan rupabumi, kemudian memverifikasikan dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau, Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, Pulau Panjang,” kata dia.
Satu tahun setelahnya, keadaan mulai berubah. Pada 4 November 2009, Pemerintah Provinsi Aceh mengirimkan surat konfirmasi yang berisi usulan perubahan nama terhadap empat pulau yang sebelumnya belum terdaftar. Selain perubahan nama, penyesuaian juga dilakukan terhadap titik koordinat pulau-pulau tersebut.
“Pulau Panjang (nama tetap) Pulau Panjang, koordinat berbeda. Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, koordinat berbeda. Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar. Pulau Rangit Kecil berubah jadi Mangkir Kecil. Jadi ada perubahan,” kata dia.
Putusan Sengketa Diserahkan ke Pusat
Setelah sekitar 20 tahun bersengketa, kedua wilayah kemudian bersepakat untuk menyerahkan keputusan sengketa empat pulau itu kepada Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.
“Setelah (polemik) berulang-ulang, diajukan dan ada kesepakatannya bahwa (keputusan mengenai wilayah administrasi empat pulau) diserahkan kepada tim pusat pembakuan dengan satu klausa patuh terhadap keputusan Tim Pembakuan Nama Rupabumi, maka diputuskan,” kata Safrizal.
Sepakat Berkolaborasi dalam Mengelola SDA?
Menyikapi polemik yang berlangsung, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf melakukan pertemuan di Banda Aceh, Rabu, 4 Juni 2025. Keduanya, bersepakat membuka peluang kolaborasi dalam mengelola potensi sumber daya alam, termasuk migas, secara bersama di kawasan perbatasan guna meredam potensi polemik di masyarakat. Di pertemuan itu, Gubernur Muzakir Manaf meninggalkan acara lebih awal karena ada agenda yang sudah terjadwal.
"Kami ingin sama-sama potensinya dikolaborasikan. Artinya kalaupun ada sumber daya alam, ada potensi pariwisata, semuanya kami harapkan bisa dikelola bersama-sama," ujar Bobby di Banda Aceh, Rabu, 4 Juni 2025, dikutip dari Antara.
Kemendagri Sambut Positif Wacana Kolaborasi
Tito Karnavian menyambut positif wacana kerja sama Pemprov Sumatera Utara dan Aceh dalam mengelola potensi minyak dan gas di wilayah perbatasan kedua provinsi tersebut.
"Saya belum pernah dengar sebelumnya, tapi itu sangat bagus. Kalau seandainya dari bawah sendiri menyelesaikan, kami di pusat akan sangat senang. Itu memang yang kita harapkan dalam setiap penyelesaian batas wilayah, adanya win-win solution antardaerah," ujar Tito di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 10 Juni 2025.
Mendagri menyampaikan bahwa batas darat antara kedua wilayah, khususnya antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah, sudah disepakati kedua belah pihak. Menurutnya, kesepakatan batas darat ini akan berdampak pada penetapan batas laut yang relevan dalam konteks pengelolaan migas.
"Kalau Pak Gubernur Bobby dan Pak Muzakir Manaf berdialog untuk mengelola bersama, why not? Kami akan sangat mendukung karena kami tidak punya kepentingan lain, selain memastikan adanya kepastian wilayah," katanya.
Potensi Migas Aceh Menurut Kementerian ESDM Tahun 2022
Ihwal sumber daya minyak dan gas bumi di perairan Aceh, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pernah melaporkan potensi menjanjikan sumber daya ini pada 22 Juli 2022. Hal itu berada di Wilayah Kerja (WK) Andaman yang mencakup tiga blok: Andaman I yang kala itu dikelola Mubadala Petroleum, Andaman II oleh Premier Oil, dan Andaman III oleh Repsol.
Ketiganya diperkirakan memiliki cadangan rata-rata 6 triliun kaki kubik (TCF). Blok ini berada di kawasan laut utara Indonesia yang berdekatan dengan perairan Thailand, sehingga berpotensi menjadi temuan migas terbesar di dunia jika pengeboran lanjutan membuahkan hasil positif.
Premier Oil telah menemukan cadangan gas di Sumur Timpan, WK Andaman II. Pemerintah kala itu juga memonitor hasil pengeboran di Sumur Rencong, WK Andaman III, yang masih berlangsung. Kala itu, ketiga blok Andaman diyakini bisa memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus menarik investasi migas lebih besar, mengingat potensi cadangannya yang disebut sangat besar oleh Direktorat Jenderal Migas.
Peluang migas lain di Aceh berada di WK Offshore North West Aceh (Meulaboh), Offshore South West Aceh (Singkil), dan WK Arakundo. Meulaboh dan Singkil kala itu ditawarkan melalui penawaran langsung, sementara Arakundo dilelang secara reguler. “Singkil cukup besar, Meulaboh cukup besar. Jadi discovery-nya masih cukup besar,” kata Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM kala itu, Tutuka Ariadji. Kendati, tidak secara detail dijelaskan apakah potensi itu berada tepat di kawasan pulau sengketa antara Aceh-Sumut. Namun secara umum, Singkil memiliki potensi migas.
Dani Aswara dan Rizki Dewi Ayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kemendagri: Aceh Lebih Dulu Kelola Empat Pulau