INFO NASIONAL – Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin menceritakan bahwa Indonesia sempat mengalami kekosongan dalam hal memposisikan Pancasila di dalam perkembangan masyarakat. Masa kekosongan itu dia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) soal penyusunan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, baru-baru ini.
“Selama ini ada kekosongan (Pancasila). Dalam pandangan saya, setidaknya ada lima era dimana bangsa ini memposisikan Pancasila hingga saat ini,” kata Wakil Ketua MPR RI Periode 2009 – 2014 ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukman menuturkan, Pancasila lahir pada 1 Juni 1945. Kemudian untuk memfokuskan perumusan Pancasila dibentuklah Panitia Sembilan yang bertugas menyusun naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD). Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil menyepakati rumusan Pancasila yang termuat dalam Piagam Jakarta. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila disahkan sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945 yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
“Tahun 1945 hingga 1965 Pancasila itu menjadi melting pot, titik temu dari ideologi-ideologi besar pada saat itu. Ada kapitalisme, ada sosialisme, ada komunisme. Dan pada saat itu Pancasila mampu membuat para pendiri bangsa merangkum ideologi besar itu,” tutur Lukman.
Era kedua, lanjut dia, mulai tahun 1970-an hingga 1998, jelang era Reformasi. “Ini era yang saya katakan sebagai era politisasi rezim terhadap Pancasila,” ucap dia. Pancasila, kata Lukman, menjadi alat hegemoni yang mendominasi kekuasaan. “Kita kenal ada azas tunggal, ada macam-macam tafsir tunggal.”
Era ketiga menurut Lukman adalah era di mana bangsa ini begitu alergi terhadap Pancasila, yakni era Reformasi tahun 1998. Terdapat penghapusan beberapa regulasi yang terkait Pancasila dan Dwifungsi ABRI. TAP MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dicabut. Sementara lembaga BP7 yang bertugas menyosialisasikan juga dibubarkan. Pelajaran Pancasila juga dihapuskan dari kurikulum pendidikan.
“Selama 10 tahun bangsa ini alergi dan menjadi era kekosongan. Bangsa ini sama sekali tidak berbicara tentang Pancasila baik elitnya maupun rakyatnya. Kalau dulu kita selalu apa-apa penataran, di era ini kosong sama sekali. Tidak ada orang mau berbicara tentang Pancasila,” tutur Lukman.
Di era keempat yakni pada 2009 – 2014, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mulai memperkenalkan Empat Pilar MPR yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan landasan negara dan menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Kebetulan saat itu saya mendapatkan amanah menjadi Wakil Ketua MPR,” kata Lukman.
Empat Pilar MPR, kata Lukman, dibuat karena melihat kekosongan Pancasila selama 10 tahun. “Padahal Pancasila itu begitu pentingnya. Nah, ketika itu, MPR sadar betul tidak memiliki fungsi dan tugas untuk mensosialisasikan Pancasila. Tapi karena kekosongan apa boleh buat, itu yang harus dilakukan, sekalian juga melakukan sosialisasi Empat Pilar MPR itu.”
Era kelima, lanjut Lukman, adalah era revitalisasi membangun institusi baru. Dimulai dengan dibentuknya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) pada 2017 yang kemudian direvitalisasi menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 2018. “Nah, kita memasuki era ini, revitalisasi institusi dan lalu ingin mengembangkannya (dengan adanya UU BPIP).”
Lukman melihat terdapat tantangan besar yang harus dihadapi ideologi bangsa yakni Pancasila ke depan. Pertama, tarikan dari kalangan yang masih menghendaki Indonesia sebagai negara Islam. “Aspirasi itu tetap ada. Mungkin jumlahnya tidak terlalu besar, tapi sebagai sebuah aspirasi. Dan itu sah-sah saja. Warga negara masih punya kehendak, keinginan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.”
Kedua, lanjut dia, yaitu ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler yang memposisikan negara terpisah sama sekali dari agama. “Dan itu hakikatnya mengingkari keindonesiaan kita. Karena ini bangsa yang sangat religius. Apapun agama yang dianut, setiap suku bangsa, setiap etnis, setiap warga negara yang hidup di Tanah Air tercinta ini selalu memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan agama. Nah, jadi ketika ada kehendak untuk memisahkan, ini sekaligus tantangannya bagi Pancasila.”
Oleh karena itu, menurut Lukman, setidaknya ada tiga hal yang perlu mendapatkan fokus perhatian utama, perlu digaungkan dan perlu direvitalisasi terkait dengan kelak hadirnya BPIP dalam undang-undang. Pertama, reaktualisasi nilai paradigmatik yang ada dalam kelima sila Pancasila. Kedua, merawat ekosistemnya. Ketiga, memperbanyak teladan atau role model.
Pada kegiatan yang sama, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie menilai keberadaan Undang-Undang BPIP sangat dibutuhkan di Indonesia. “Undang-undang tentang BPIP ini penting sekali.” Menurut Jimly, hal ini dikarenakan kehadiran BPIP itu sendiri sangat penting. “Enggak ada yang ngurus ideologi berbangsa dan bernegara, maka, badan yang mengurus ini saking pentingnya harus diatur dengan benar.”
Rancangan UU BPIP menurut dia harus segera disusun dan ditetapkan. “Karena ide untuk membuat undang-undang ini sudah berapa tahun ini. Nah, jadi saya mendukung RUU BPIP ini segera dibahas melalui prosedur formal untuk ditetapkan menjadi undang-undang.” Apalagi, lanjut Jimly, dalam pemerintahan Presiden Prabowo dan Gibran, RUU BPIP ini masuk Asta cita Pertama mengenai Penguatan Ideologi Pancasila, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga harus segera dituntaskan. (*)