Direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan Adjunct Professor di Griffith University, Prof. Tjandra Yoga Aditama menjelaskan bahwa secara genomik, varian NB.1.8.1 berkaitan dengan XDV.1.5.1 dan JN.1.
Dibandingkan dengan LP.8.1, varian Nimbus memiliki sejumlah mutasi spike, yaitu T22N, F59S, G184S, A435S, V445H, dan T478I.
"Mutasi pada posisi spike 445 meningkatkan keterikatan dengan reseptor hACE2, sehingga membuat varian ini lebih mudah menular," kata Prof. Tjandra kepada Health Liputan6.com, Rabu, 11 Juni 2025.
Dia menambahkan bahwa peningkatan transmisi ini kemungkinan berperan dalam naiknya kasus di berbagai negara.
Per 18 Mei 2025, sebanyak 518 sekuen NB.1.8.1 telah dilaporkan ke GISAID oleh 22 negara.
Data dari pekan epidemiologi ke-17 (21–27 April 2025) menunjukkan varian ini mencakup 10,7 persen dari data global, meningkat drastis dari 2,5 persen empat minggu sebelumnya.
Peningkatan signifikan ini terjadi di Asia, Eropa, dan Amerika. Prof. Tjandra menyarankan Indonesia perlu meningkatkan surveilans genomik untuk memantau penyebaran varian ini. Salah satu langkah yang dia rekomendasikan adalah:
"Melakukan tes COVID-19 pada seluruh kasus Severe Acute Respiratory Illness (SARI) yang dirawat, serta 5 persen dari kasus Influenza-Like Illness (ILI). Hasil positif kemudian dikirim untuk pemeriksaan Whole Genome Sequencing," ujarnya