TEMPO.CO, Jakarta - Teror menggunakan bangkai hewan kembali terjadi. Kali ini, dua paket berisi kepala babi yang telah membusuk dikirimkan kepada mahasiswa asal Papua yang berada di Denpasar, Bali, Jumat, 6 Juni 2025.
Beberapa hari sebelumnya juga, seorang aktivis lingkungan di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Delima Silalahi, juga menerima sebuah paket mencurigakan yang berisi bangkai burung berlumuran darah pada Jumat pagi, 30 Mei 2025. Paket itu ditemukan di kediamannya di kawasan Silangit, diletakkan di atas meja di area terbuka yang biasa ia gunakan untuk menjamu tamu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insiden yang dialami mereka mengingatkan pada rangkaian aksi teror yang menargetkan redaksi Tempo pada Maret 2025. Saat itu, Francisca Christy Rosana selaku jurnalis politik Tempo sekaligus pembawa acara siniar Bocor Alus Politik mendapat kiriman kepala babi tanpa telinga, disusul sebuah kardus berisi enam bangkai tikus got yang telah dipenggal.
Makna Penggunaan Hewan sebagai Alat Teror
Penggunaan hewan yang telah mati sebagai alat teror bukanlah praktik yang baru dalam konteks kekerasan sosial dan politik. Simbol-simbol seperti kepala babi, burung yang berlumuran darah, hingga tikus yang dimutilasi menyiratkan makna kekotoran, penghinaan, serta teror. Tindakan ini dirancang untuk menyerang kondisi psikologis korban, memberikan pesan ancaman agar mereka berhenti berbicara, dan menunjukkan bahwa pelaku mengetahui keberadaan serta aktivitas pribadi korban.
Motivasi di balik metode ini umumnya mencerminkan dua hal utama: pertama, ancaman kekerasan yang meski tidak bersifat fisik secara langsung, tetap berdampak secara mental; kedua, pesan politik terselubung yang bertujuan membungkam kritik. Baik dalam kasus Delima Silalahi maupun Tempo, para korban tengah menangani isu-isu yang menyentuh kepentingan kekuasaan dan korporasi, baik dalam bentuk peliputan jurnalistik maupun advokasi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, mengungkapkan bahwa aksi teror yang melibatkan bangkai hewan semakin sering terjadi belakangan ini. Ia menduga hal ini berkaitan dengan ketidaknyamanan pihak tertentu terhadap semakin menguatnya suara-suara kritis di tengah masyarakat.
“Peningkatan kasus teror menggunakan bangkai hewan disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum serta kurangnya jaminan perlindungan terhadap keamanan,” ujar Usman dalam pernyataan tertulis yang disampaikan melalui aplikasi pesan pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Usman menyatakan bahwa penggunaan bangkai hewan sebagai bentuk teror di kasus Papua merupakan kejadian yang baru, meskipun sebelumnya wilayah tersebut sudah sering mengalami teror dalam bentuk yang lebih ekstrem dan mematikan. Ia menekankan bahwa apa pun motif di balik aksi teror ini, negara, khususnya aparat penegak hukum memiliki kewajiban untuk mengungkap pelakunya dan menindaklanjutinya melalui proses hukum yang didukung oleh bukti yang sah dan kuat.
Daniel Ahmad Fajri, Michelle Gabriela, dan Eko Ari Wibowo ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Kenapa Tambang Ilegal Sulit Diberantas