TEMPO.CO, Jakarta -- Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi memaparkan alasan pemerintah menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Sesuai dengan penjelasan Kementerian Kebudayaan, Hasan mengatakan, tanggal tersebut dipilih karena masukan dari para budayawan serta pekerja seni dan tradisi yang merasa penting untuk menetapkan hari kebudayaan untuk mengapresiasi mereka.
Hasan menegaskan, pemerintah kita tidak menganut sistem ‘othak-athik gathuk’ atau cocoklogi. Jadi, kata dia, kementerian menetapkan suatu tanggal untuk hari nasional memiliki dasar hukum, peristiwa, atau sejarah. Hasan mengatakan tidak masalah kalau memang tanggal 17 Oktober bersamaan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. “Kalau kebetulan enggak apa-apa. Itu, kan, soal kebetulan. Kebetulan-kebetulan itu banyak,” kata Hasan di kantornya di Jakarta Pusat, 16 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasan mengatakan banyak kebetulan terjadi, misalnya, Presiden Soekarno wafat pada 21 Juni bertepatan dengan hari lahir Presiden Joko Widodo. Ia mengatakan publik bisa memperingati 21 Juni sebagai hari wafatnya Bung Karno atau sebagai hari lahirnya Jokowi. “Orang yang memperingati 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan, boleh. Orang yang memperingati 17 Oktober sebagai hari lahirnya seseorang juga, juga boleh. Jadi kami mulai belajar lah menghindar dari cocoklogi dan othak-athik gathuk.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya mengatakan alasan 17 Oktober dipilih karena bertepatan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Penetapan Lambang Negara. Menurut Fadli, hari itu merupakan momen penting di mana Presiden Sukarno meresmikan Garuda Pancasila sebagai lambang negara, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai bagian dari identitas bangsa. "Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman," kata Menteri Fadli Zon melalui keterangan tertulis pada Senin, 14 Juli 2025.
Fadli Zon menuturkan, gagasan penetapan ini diusulkan oleh kalangan seniman dan budayawan dari Yogyakarta. Perkumpulan itu terdiri atas para maestro tradisi dan kontemporer. Ia mengatakan mereka telah melakukan kajian sejak Januari 2025. "Lalu disampaikan ke Kementerian Kebudayaan setelah beberapa kali diskusi mendalam," kata dia.
Pada 26 Mei 2025, sejumlah seniman yang tergabung dalam Tim 9 Garuda Plus menghadiri rapat dengar pendapat bersama anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Yogyakarta, Ahmad Syauqi Soeratno. Rapat yang digelar di lantai 3 Gedung DPD Yogyakarta itu membahas soal usulan penetapan hari kebudayaan. Adapun seniman yang mengusulkan itu di antaranya Achmad Charis Zubair, Rahadi Saptoto Abro, Esti Wuryani, Isti Sri Rahayu, Arya Ariyanto, Yani Saptohoedojo, Yati Pesek, Oni Wantara, dan Nano Asmorondono.
Menurut Fadli, penetapan hari kebudayaan nasional penting untuk meningkatkan pemahaman publik atas nilai-nilai kebudayaan bangsa. Dia mengajak seluruh lapisan masyarakat agar dapat sama-sama memaknai hari sakral tersebut.
Penetapan hari kebudayaan disahkan Fadli Zon pada 7 Juli 2025 melalui Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025 tentang Hari Kebudayaan. Keputusan ini mendapat banyak spekulasi negatif lantaran hari itu bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. Kepala negara lahir pada 17 Oktober 1951.
Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.