Liputan6.com, Jakarta - Rasa manis pada makanan atau minuman bisa dihasilkan oleh gula maupun pemanis non-gula alias pemanis buatan.
“Jika berbicara tentang gula, maka akan berhubungan dengan diabetes. Sedangkan produk pemanis non-gula berhubungan dengan sistem imun,” kata dosen patologi anatomik di Fakultas Kedokteran (FK) Unair, Dr. dr. Willy Sandhika, MSi., SpPA(K) mengutip laman Universitas Airlangga (Unair), Kamis (26/6/2025).
Menurut dokter spesialis patologi anatomi itu, dari segi imunologi, gula bisa menjadi kawan dan bisa pula menjadi lawan.
“Jika peruntukannya adalah pada orang yang kekurangan kalori, gizi buruk, gula bisa menjadi teman. Bagi yang sudah berlebihan akan menimbulkan berbagai macam penyakit,” jelasnya.
Takaran konsumsi pemanis juga tergantung pada siapa yang mengonsumsinya. “Jika masih anak-anak, bagus memakan gula. Jika sudah tua seharusnya diet bebas gula. Tetapi perlu ditekankan bahwa diet bebas gula artinya juga tanpa pemanis buatan,” ujarnya.
Willy menekankan bahwa pemanis buatan hanya memberikan rasa manis tanpa kalori di dalamnya sehingga tidak memiliki nilai gizi. Ia juga mengatakan bahwa sebagian pemanis buatan sudah melalui persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, yang beredar seringkali adalah pemanis buatan yang tidak terdaftar.
Lebih lanjut, Willy mengatakan bahwa pemanis buatan yang tak aman bisa memicu autoimun.
“Sistem imun didesain untuk menyerang virus, bakteri dari luar. Namun, ada kalanya sistem imun menyerang tubuh sendiri, pemanis buatan bisa memicu autoimun. Untuk itu hindari pemanis buatan,” jelasnya.
Sebuah tinjauan empat peneliti yang melibatkan sekitar 350.000 orang menemukan nasi putih lebih banyak dikonsumsi orang. Orang Asia cenderung memiliki asupan nasi putih jauh lebih tinggi yaitu tiga sampai empat porsi per hari.