TEMPO.CO, Jakarta - Centre for Strategic and International Studies Indonesia atau CSIS Indonesia menilai sebagian partai akan dirugikan apabila terjadi pemisahan pemilu nasional dan lokal setelah putusan Mahkamah Konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam penelitiannya, Ketua Departermen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Indonesia Arya Fernandes menemukan pemisahan pemilu nasional dan lokal justru berdampak kurang positif bagi pelembagaan partai secara nasional. Sebab, partai akan semakin bergantung pada figur dan kandidat lokal bukan memperkuat pelembagaan partai.
“Pemisahan pemilu diprediksi dapat membuat fragmentasi politik di tingkat lokal akan meningkat karena adanya variasi kekuatan partai yang mencolok pada beberapa daerah,” kata Arya dalam policy brief berjudul “Dampak dan Kompleksitas Putusan MK tentang Pemilu Nasional dan Lokal” dikutip pada Jumat, 18 Juli 2025.
Menurut Arya, kondisi ini menimbulkan pembelahan kepemimpinan nasional dan lokal karena pemimpin-pemimpin daerah berkepentingan untuk memenangkan pemilu nasional berikutnya. Akibatnya, pemisahan pemilu justru akan merugikan sebagian partai karena struktur kelembagaan partai yang tidak merata secara nasional. Partai-partai yang selama ini bergantung pada pemilu serentak juga akan kesulitan memenangi pemilu di daerah.
Arya melakukan komparasi antara perolehan kursi partai di tingkat nasional dan lokal untuk mengukur dampak pemisahan tersebut dan seberapa besar deviasi kursi yang terjadi. Kursi partai di tingkat nasional diperoleh dari 84 daerah pemilihan di Indonesia. Sedangkan perolehan kursi partai di tingkat lokal diambil dari distribusi kursi DPRD provinsi di 38 provinsi di Indonesia.
Arya menggunakan indeks deviasi sebagai proksi untuk melihat struktur kekuatan partai, serta menguji argumen bahwa pemilih susah membedakan antara caleg nasional dan lokal, serta isu lokal yang tenggelam karena adanya keserentakan. Untuk mengukur tingkat deviasi suara partai, Arya menggunakan penghitungan Pedersen Index.
Ia mengatakan metode pedersen index biasanya digunakan untuk menghitung volatilitas suara, tetapi bisa digunakan juga untuk menghitung deviasi suara/kursi antara pusat dan lokal. “Secara umum, dari hasil analisis ditemukan adanya variasi indeks Pedersen antar-partai
di angka 2 sampai 4 persen,” katanya.
Indeks pedersen tinggi menunjukkan adanya deviasi kursi yang besar antara perolehan kursi di DPR dan kursi DPRD. Sementara indeks pedersen rendah menunjukkan kemiripan antara pola pilihan antara suara nasional dan lokal.
“Artinya, bila angka deviasi tinggi pemilih dapat membedakan antara pemilu nasional dan lokal,” ujarnya. Arya menjelaskan, perbedaan deviasi kursi partai akan menunjukkan seberapa kuat partai politik dan apa dampaknya bagi perolehan kursi partai bila pemilu nasional dan lokal dipisah.
Partai yang memiliki angka deviasi tinggi atau lebih dari 3 persen berarti memiliki perbedaan cukup tinggi antara pilihan di pusat dan lokal. Partai ini adalah PDIP, Golkar, dan Nasdem. Kemudian, angka deviasi moderat (2,5-3 persen) berarti ada perbedaan pilihan pusat dan lokal, tetapi tidak terlalu
besar. Suara partai stabil baik saat pemilu dipisah atau digabung.
Partai yang masuk kelompok ini adalah Gerindra. Terakhir, partai dengan kelompok deviasi rendah (kurang dari 2,5 persen). Artinya, pilihan pemilih di pusat dan lokal cukup linear. Partai yang memiliki indeks deviasi rendah adalah yang paling diuntungkan pemisahan pemilu.
Arya mengatakan, dalam konteks pemilu serentak, partai-partai mendapatkan efek ekor jas (coattail effect) karena adanya mobilisasi politik secara nasional. Ketika pemilu dipisah efek coattail tersebut akan hilang.
“Artinya, partai-partai yang memiliki deviasi suara yang tinggi akan berpotensi kehilangan efek coattail dan ujungnya kehilangan suara/kursi,” ujarnya.
Partai yang memiliki deviasi moderat cenderung stabil suaranya di daerah. Sementara partai yang memiliki deviasi rendah justru akan mendapatkan penambahan suara atau kursi bila pemilu dipisah.
Pada tingkat tertinggi, bila pemilu dipisah, partai dengan deviasi tinggi akan potensial kehilangan maksimal 10 persen kursi DPRD secara agregat. Sementara, partai dengan deviasi rendah akan mendapatkan tambahan kursi paling sedikit 2,5 persen secara agregat.
Untuk melihat lebih dalam apakah partai dengan indeks pedersen yang tinggi dirugikan apabila pemilu dipisah, Arya memakai simulasi menggunakan teori party nationalization. Teori party nationalization digunakan untuk mengukur kekuatan atau tingkat kemerataan kekuatan partai.
Penghitungan party nationalization menggunakan ukuran -1 sampai 1. Semakin mendekati angka 1 berarti semakin merata kekuatan partai secara nasional. Sebaliknya, angka minus menunjukkan adanya ketimpangan distribusi suara atau kursi.
Arya menggunakan perolehan kursi DPRD di 38 provinsi untuk melihat sebaran kekuatan partai. Ia mengatakan perolehan kursi DPRD lebih baik untuk mengukur party nationalization dari pada menggunakan sebaran kursi DPR menggunakan dapil karena tingginya disproporsionalitas kursi per daerah pemilihan, sehingga hasilnya akan bias.
“Dari penghitungan party nationalization score ditemukan bahwa Gerindra, Golkar, PKB dan Nasdem mendekati angka 1,” katanya.
Angka 1 menunjukkan peta sebaran perolehan kursi partai lebih merata pada 38 provinsi di Indonesia. Sementara partai yang minus menunjukkan peta sebaran yang tidak merata atau timpang. Arya mencontohkan PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera yang memiliki skor minus.
Skor PDIP menunjukkan ketimpangan perolehan kursi secara nasional dan adanya kondisi kursi yang ekstrem pada di Jawa Tengah dan Bali, tetapi di daerah lainnya lemah. Sedangkan PKS lemah di Indonesia Bagian Timur.
Arya mengatakan, dalam simulasi skor party nationalization dan indeks Pedersen, terbentuk 4 kuadran beserta konsekuensinya apabila pemilu nasional dan pemilu lokal dipisah.
Kelompok kuadran 1 memiliki kondisi skor party nationalization tinggi dengan split ticket rendah atau moderat. Arya mengatakan partai yang masuk kelompok kuadran ini cenderunh tidak terlalu dirugikan jika pemilu nasional dan lokal dipisah. Partai dalam kelompok ini adalah Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Kuadran 2 memiliki skor party nationalization dan split ticket tinggi. Partai dalam kuadran ini berpotensi kehilangan kursi di tingkat lokal bila pemilu nasional dan lokal dipisah. Sebab suara di tingkat lokal di antaranya berasal dari efek ekor jas nasional. Partai yang tergolong kuadran 2 adalah Nasdem dan Golkar.
Kemudian, kuadran 3 memiliki skor party nationalization rendah dengan split ticket tinggi. Partai kuadran ini adalah PDIP. Arya mengatakan PDIP rentan kehilangan kursi di basis utama di daerah jika pemilu dipisah.
Terakhir, kelompok kuadran 4. Kuadran 4 memiliki skor party nationalization dan split ticket sama rendah. Demokrat, PKS, dan Partai Amanat Nasional adalah kelompok kuadran ini. Partai-partai ini akan mendapat suara cukup stabil apabila pemilu nasional dan lokal dipisah.