Liputan6.com, Jakarta - Nyeri punggung bawah adalah salah satu keluhan kesehatan paling umum di dunia. Di Amerika Serikat saja, kondisi ini menjadi alasan utama banyak orang bolak-balik ke dokter, kehilangan hari kerja, bahkan mengalami penurunan kualitas hidup.
Kabar baiknya, studi terbaru menunjukkan bahwa solusi sederhana seperti jalan kaki setiap hari dapat menjadi cara signifikan menurunkan risiko terkena nyeri punggung bawah — tentu dengan beberapa syarat.
Berjalan Kaki Bisa Cegah Nyeri Punggung
Penelitian dari Universitas Sains dan Teknologi Norwegia menganalisis data lebih dari 11.000 orang dewasa berusia di atas 20 tahun yang tidak memiliki riwayat nyeri punggung kronis.
Selama satu minggu, peserta diminta memakai pelacak aktivitas untuk memantau seberapa lama dan cepat mereka berjalan. Hasilnya mengejutkan: semakin banyak langkah yang diambil, semakin rendah risiko mengalami nyeri punggung bawah selama empat tahun ke depan.
“Semakin banyak langkah yang diambil peserta, semakin jarang mereka mengalami nyeri punggung,” tulis peneliti dalam laporan studi, dilansir New York Post.
Mereka yang jalan kaki selama 78–100 menit per hari berhasil menurunkan risiko nyeri hingga 13%. Sementara itu, peserta yang berjalan lebih dari 100 menit sehari mampu menurunkan risiko hingga 23%.
Bukan Hanya Durasi, Kecepatan Jalan Juga Penting
Bukan hanya soal durasi berjalan, kecepatan juga berperan besar dalam melindungi tubuh dari nyeri punggung. Peneliti menemukan bahwa orang yang berjalan lebih cepat memiliki kemungkinan 15% hingga 18% lebih rendah untuk mengalami nyeri punggung bawah dibanding mereka yang berjalan lambat.
Namun, kombinasi antara durasi dan kecepatan ternyata memberikan hasil terbaik. Individu yang paling aktif, baik dari sisi waktu maupun intensitas langkah, memiliki peluang terendah terkena nyeri punggung bawah.
“Ini adalah temuan penting karena berjalan adalah aktivitas yang sederhana, murah, dan mudah diakses yang dapat dipromosikan secara luas untuk mengurangi beban nyeri punggung bawah,” jelas Rayane Haddadj, penulis utama studi tersebut, dikutip CNN.