TEMPO.CO, Jakarta - Kontroversi aktivitas penambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, mencuat setelah aktivis Greenpeace melakukan aksi protes. Penambangan nikel di beberapa pulau di Raja Ampat dianggap melanggar sejumlah peraturan termasuk undang-undang (UU) dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Kementerian Lingkungan Hidup telah menyegel lokasi tambang nikel empat perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat. Keempat entias itu meliputi PT Gag Nikel (PT GN) di Pulau Gag; PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) di Pulau Manuran; PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) di Pulau Kawei; serta PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana sebenarnya aturan tentang penambangan di pulau kecil di Indonesia?
UU Melarang Penambangan di Pulau Kecil
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalasa Feri Amsari mengatakan, kegiatan tambang di pulau kecil secara tegas dilarang oleh UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada Pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, perikanan, pertanian organik, dan pertahanan negara. Pertambangan tidak termasuk dalam daftar tersebut.
“Sebutkan di mana urusan yang berkaitan dengan pertambangan berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu tidak boleh, menurut saya, aktivitas apapun yang bertentangan dengan undang-undang, terjadi,” kata Feri kepada Tempo, Sabtu, 7 Juni 2025.
Selain itu, kegiatan di luar kepentingan utama tersebut wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan yang ketat, termasuk memperhatikan daya dukung lingkungan dan penggunaan teknologi ramah lingkungan. Namun, menurut Feri, kegiatan tambang di Pulau Gag tidak memenuhi kriteria tersebut dan karenanya ilegal secara hukum.
Definisi Pulau Kecil dan Kasus Pulau Gag
UU Nomor 1 Tahun 2014 juga mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 km² beserta ekosistemnya. Pulau Gag, yang luasnya hanya 60 km² (6.000 hektare), jelas masuk dalam kategori pulau kecil. Maka dari itu, aktivitas tambang di sana bertentangan langsung dengan hukum.
Diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
Larangan tersebut diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menegaskan pelarangan aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. MK menyatakan bahwa perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil merupakan bagian dari tanggung jawab negara terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan sumber daya alam.
Melanggar Konstitusi
Tak hanya undang-undang sektoral, kegiatan tambang ini juga dinilai melanggar Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Feri Amsari menyebutkan bahwa aktivitas tersebut tidak sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang mengutamakan efisiensi berkeadilan, keberlanjutan, dan wawasan lingkungan.
Penerbitan Izin Tambang Terindikasi Korupsi
Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menambahkan bahwa terbitnya izin pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag patut dicurigai sebagai hasil dari praktik korupsi atau gratifikasi. Ia menilai bahwa sulit membayangkan izin bisa keluar jika tidak ada kolusi antara pemerintah dan perusahaan tambang. “Sudah jelas ada undang-undang dan putusan MK, tetapi izin pertambangan tetap keluar. Itu artinya ada kongkalikong antara otoritas pemberi izin, dalam hal ini pemerintah, dengan perusahaan tambang,” kata Herdiansyah kepada Tempo.
Tanggapan Pemerintah: Penghentian Sementara
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa izin usaha pertambangan PT GAG Nikel terbit sebelum dirinya menjabat, dan ia telah menghentikan sementara operasional tambang sambil menunggu hasil verifikasi lapangan.
Namun, menurut Feri, penghentian sementara tidak cukup, sebab pelanggaran hukum sudah sangat jelas. Pasal 51 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada menteri untuk mencabut izin jika aktivitas tersebut berdampak signifikan terhadap lingkungan.
Riri Rahayu, Eka Yudha Saputra, dan Sukma Kanthi Nurani turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Kenapa Tambang Ilegal Sulit Diberantas