TEMPO.CO, Jakarta - Kasus-kasus pemerkosaan pada masa transisi politik 1998 kembali mendapat sorotan setelah Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebutnya sebatas rumor. Klaim Fadli bertolak belakang dengan laporan yang pernah diterbitkan Dewan Ekonomi dan Sosial Persatuan Bangsa-Bangsa (UN ECOSOC) soal pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan beretnis Tionghoa pada masa tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokumen PBB yang mencatat kasus-kasus itu disusun oleh Pelapor Khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan, Radhika Coomaraswamy, pada 1998. Radhika menyusun laporan berdasarkan penelusuran di Indonesia selama dua pekan pada 20 November-4 Desember 1998.
Dalam laporannya, Radhika menceritakan salah satu kasus di mana tentara menolak menolong korban pemerkosaan. Cerita itu Radhika dapat dari salah satu korban yang dia wawancarai. Korban, kata Radhika, adalah salah seorang yang rumahnya diserang saat kerusuhan.
Menurut Radhika, saat itu ada tentara yang berada di dekat lokasi. “Seorang korban menceritakan kepada Pelapor Khusus bagaimana dia berlari keluar dari rumahnya dan meminta bantuan kepada seorang tentara untuk menyelamatkan keluarganya,” kata Radhika dalam laporan yang terbit pada 21 Januari 1999 itu.
Namun, menurut kesaksian korban itu, sang tentara bergeming. “Tentara itu hanya berpaling dan tidak menolong,” tulis Radhika. Korban pun tak berdaya menyaksikan saudari-saudarinya mengalami kekerasan seksual, saudaranya dibunuh, dan rumahnya dibakar sampai rata dengan tanah.
Radhika menilai tindakan tersebut melanggengkan kondisi kekacauan. Sikap tak acuh tentara, kata dia, memberikan impunitas kepada pelaku kejahatan dan memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar.
Dalam laporan yang sama, Radhika juga bercerita soal video kerusuhan 1998 yang dia lihat. Dalam video itu, Radhika menyaksikan anggota angkatan bersenjata hanya berdiri dan menyaksikan penjarahan serta kerusuhan yang sedang berlangsung. “Pada satu titik, mereka bahkan ikut menikmati minuman hasil jarahan bersama para pelaku, sambil bercanda dan tertawa di tengah kekacauan,” ucap Radhika.
Radhika sempat menanyakan kepada anggota pasukan keamanan Indonesia soal alasan mereka membiarkan pelanggaran hukum terjadi. Mereka, kata Radhika, berdalih tak mau lagi ada korban jiwa dari kalangan sipil setelah sejumlah mahasiswa tewas akibat tembakan peluru tajam dari pasukan bersenjata saat berdemonstrasi pada 1998. “Sehingga para tentara enggan turun tangan.”
Radhika menilai militer Indonesia saat itu tidak mampu membedakan pelaksanaan hak kebebasan berpendapat oleh para mahasiswa dengan tindakan kriminal murni oleh geng preman dan penjarah. “Sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan perlunya pelatihan intensif mengenai hak asasi manusia bagi pasukan keamanan Indonesia,” tulis dia.
Mantan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang menjabat pada 1998, Wiranto, pernah membantah memberi instruksi agar tentara melanggengkan kerusuhan. "Tidak ada sama sekali keinginan, kehendak, tindakan saya yang mengarah kepada melakukan langkah-langkah untuk mengacaukan tahun 1998 sebagai Menhankam/Pangab (Panglima ABRI) yang membawahi TNI dan Polisi," kata Wiranto di Jakarta pada 26 Februari 2019 seperti dikutip Antara.
Tempo telah meminta tanggapan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengenai laporan PBB tersebut. Kepala Pusat Penerangan TNI Kristomei Sianturi belum merespons pesan Tempo yang dikirim via WhatsApp pada Rabu, 25 Juni 2025.
Mantan presiden, Bacharuddin Jusuf atau Habibie, pernah mengeluarkan pernyataan terbuka atas kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan pada kerusuhan 1998. Pada 15 Juli 1998, beberapa bulan sebelum Radhika mengunjungi Indonesia, Habibie menyampaikan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan terhadap perempuan “dalam bentuk apa pun juga dan di mana pun juga.”
Dua puluh tujuh tahun kemudian, Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal 1998 terjadi. Menteri Kebudayaan kabinet Presiden Prabowo Subianto itu menyebut pemerkosaan massal tak lebih dari rumor saat melakukan wawancara soal proses penulisan ulang sejarah dengan Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Zulfiani Lubis, Rabu, 11 Juni 2025.
Setelah pernyataan tersebut, Majalah Tempo kembali melakukan penelusuran terhadap kasus pemerkosaan massal 1998. Kesaksian korban hingga temuan Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF mematahkan klaim Fadli. Simak tulisannya di sini.