TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah mengambil langkah konkret dan proaktif dalam melindungi warga negara Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia dan kerja paksa di Kamboja.
Seruan ini disampaikan menyusul temuan Amnesty International dalam laporan terbarunya yang mengungkap praktik perbudakan modern di puluhan kompleks penipuan online di negara tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi warganya, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks ini, pemerintah harus segera bertindak untuk mencegah semakin banyak warga Indonesia yang menjadi korban,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dikutip dari keterangan resmi, Kamis, 26 Juni 2025.
Laporan berjudul “I Was Someone Else’s Property” mendokumentasikan praktik perdagangan manusia, perbudakan, dan penyiksaan yang menimpa ribuan pencari kerja, termasuk WNI, di lebih dari 50 kompleks penipuan online di Kamboja. Penelitian selama 18 bulan itu menyebutkan adanya keterlibatan jaringan kriminal Tiongkok dan pembiaran sistemik oleh aparat Kamboja.
Daniel, seorang WNI, menjadi salah satu penyintas yang diwawancarai Amnesty. Ia diperdagangkan ke salah satu kompleks penipuan di Koh Kong, Kamboja. Meski awalnya sadar bahwa ia akan bekerja di sektor penipuan daring, Daniel akhirnya turut menjadi korban kekerasan dan kerja paksa. Ia disekap, dipaksa bekerja, dan dijual ke kompleks lain.
“Tolong… saya tidak bisa tidur,” tulis Daniel dalam pesan yang dikirim ke Amnesty. Setelah dibebaskan, ia justru ditahan selama lebih dari satu bulan di beberapa kantor polisi dan pusat penahanan imigrasi Kamboja karena dianggap tak memiliki dokumen sah.
Amnesty menilai situasi ini tidak bisa dibiarkan. Usman menekankan bahwa Indonesia harus menggunakan semua saluran diplomatik dan kewenangan yang dimiliki untuk mendesak pemerintah Kamboja agar melakukan penyelidikan menyeluruh dan menuntut para pelaku kejahatan internasional, termasuk yang terlibat dalam praktik perbudakan dan penyiksaan.
“Pemerintah juga harus memastikan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kamboja memiliki sumber daya cukup untuk memberikan perlindungan dan tanggapan cepat terhadap korban perdagangan manusia asal Indonesia,” ujar Usman.
Selain itu, Indonesia didorong memimpin upaya regional untuk membangun solidaritas antarnegara Asia Tenggara dalam memberantas jaringan perdagangan manusia dan perlakuan tidak manusiawi terhadap pencari kerja lintas negara.
Laporan Amnesty juga menyebut bahwa sebagian besar kompleks penipuan itu tetap beroperasi meskipun telah diketahui publik dan sempat digerebek polisi. Dalam beberapa kasus, aparat justru bekerja sama dengan pengelola kompleks. Penegakan hukum dianggap sekadar pertunjukan belaka, sementara korban justru kembali menjadi tahanan.
“Pemerintah Kamboja sebenarnya bisa menghentikan pelanggaran ini, tapi mereka memilih tidak melakukannya,” kata Montse Ferrer, Direktur Riset Regional Amnesty.