TEMPO.CO, Jakarta - Alif Hijriah, (29), alumni jurusan Magister Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) berusaha membandingkan cara mana yang paling enak untuk menikmati bubur ayam. Alif menggunakan kombinasi rumus fisika dan matematika untuk mencari tahu apakah bubur ayam lebih nikmat ketika diaduk atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alif menceritakan, ide tersebut berawal dari keinginannya untuk membuktikan bahwa semua masalah di kehidupan nyata bisa diselesaikan dengan ilmu eksakta. "Karena matematika dan fisika sedekat itu dengan kehidupan kita," kata Alif lewat sambungan telepon pada Jumat, 18 Juli 2025.
Pada Senin, 14 Juli 2025, Alif mengunggah video ke Instagram pribadinya @aliftowew untuk menjelaskan secara langsung bagaimana cara menyantap bubur ayam menghasilkan tingkat kenikmatan rasa yang berbeda. Dalam video tersebut, Alif memperlihatkan semangkuk bubur ayam yang penyajiannya masih utuh dan satu mangkuk lainnya berisi bubur yang telah tercampur.
Pertama, Alif menggunakan pendekatan fisika dengan menghitung rumus konduktivitas panas. Menurut Alif, bubur ayam yang diaduk merata menghasilkan panas sebesar 45 joule. Sedangkan bubur ayam yang dibiarkan apa adanya hanya mempunyai panas 19 joule karena suhunya tidak menyebar antara yang atas dan bawah.
"Artinya panas berpindah 40 persen lebih banyak kalau (bubur) diaduk. Kalau (bubur) diaduk suhunya seragam, nyaman dimakan. Tapi kalau enggak diaduk, masih panas banget, ada yang sudah dingin," ujar Alif.
Kedua, Alif memakai rumus matematika untuk menakar kombinasi rasa dari jumlah topping atau pugasan di setiap mangkuk bubur ayam. Ia mencontohkan, dalam enam pugasan bubur yang terdiri dari kacang kedelai goreng, suwiran ayam, daun bawang, kerupuk, kecap hingga sambal akan menghasilkan 63 kombinasi rasa.
Bubur yang tidak diaduk, kata Alif, akan menghasilkan rasa yang berbeda di setiap suapan karena tergantung kombinasi yang diperoleh. "Tapi kalau diaduk, karena sudah tercampur semua ya berarti bakal konsisten rasanya," ucap dia menerangkan perbedaannya.
Kemudian yang ketiga, Alif menggunakan rumus entropi untuk mengetahui seberapa variasi rasa bubur ayam ketika diaduk atau tidak. Menurut perhitungan Alif, bubur yang diaduk memiliki rasa yang cenderung stabil dan tidak memberikan kejutan. Sementara bubur yang belum tercampur rasanya berubah-ubah serta tidak terduga.
Dari ketiga rumus tersebut, Alif menyimpulkan bahwa cara menikmati bubur ayam merupakan cerminan dari kepribadian seseorang. Ia berujar bahwa bubur ayam yang diaduk cocok untuk orang yang menyukai efisiensi, stabilitas, kenyamanan dan menghindari kejutan.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi orang yang lebih suka buburnya tidak diaduk. "Nah, ini berarti orangnya suka berpetualang rasa istilahnya. Orangnya suka dinamika rasa, suka kejutan, karena setiap sendok beda rasa dan ingin pengalaman yang lebih kompleks," tuturnya.
Kendati demikian, laki-laki yang kini mengelola lembaga bimbingan belajar itu meyakini bahwa di antara dua pilihan, bubur ayam yang diaduk memiliki rasa yang lebih enak daripada yang tidak diaduk. Perpaduan rumus sains tersebut, kata Alif, telah mengakhiri perdebatan yang tidak pernah surut.
"Hukum konduksi panas itu kan sudah ratusan tahun. Entropi rasa juga sudah ratusan tahun gitu. Kalau ada yang mau membantah penjelasan bubur ini, ya harus dibantah dengan teori fisika lagi atau teori matematika lagi".
Selang empat hari diunggah, video Alif telah ditonton sebanyak 1,5 juta kali. Serta mendapatkan tanda suka hingga 55,6 ribu, dibagikan ke media lain 50 ribu kali dan menarik 5 ribu warganet untuk berkomentar. Alif mengatakan bahwa sejak Mei 2025 ia rutin membuat konten yang memanfaatkan rumus-rumus untuk memecahkan suatu masalah. Ia ingin menampilkan itu sebagai personal branding di media sosialnya.