
GLOBAL Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menilai keputusan Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 4,75% akan menjadi stimulus penting bagi perekonomian domestik. Langkah ini diyakini mampu memperkuat daya konsumsi masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan kredit perbankan yang melambat.
"Bagi masyarakat yang memiliki cicilan dengan bunga mengambang (floating rate), beban pembayaran akan lebih ringan," ungkapnya kepada Media Indonesia, Rabu (17/8).
Hal ini, lanjutnya, diharapkan mendorong konsumsi, meningkatkan daya beli, serta mendukung aktivitas bisnis dan ekspansi, termasuk bagi korporasi maupun pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Myrdal juga menyoroti sisi inflasi yang diperkirakan tetap rendah, sekitar 2,2% sepanjang 2025. Tekanan inflasi impor relatif lemah, seiring harga minyak dunia yang diperkirakan tidak akan melonjak tajam selama tidak terjadi eskalasi geopolitik.
Selain itu, posisi dolar AS saat ini dinilai undervalued atau lebih rendah, dan jika The Fed terus melanjutkan penurunan suku bunga pada sisa tahun ini, maka rupiah berpotensi semakin menguat. Kondisi ini membuat tekanan inflasi impor tetap dapat dikelola dengan baik.
Dari sisi perbankan, Myrdal berharap pertumbuhan kredit dapat mencapai 7-9% pada 2025. Namun, ia mengingatkan bahwa sekitar 25% dana pihak ketiga (DPK) perbankan masih didominasi special rate, sehingga dibutuhkan transmisi kebijakan moneter yang lebih cepat agar penurunan suku bunga benar-benar efektif dirasakan oleh masyarakat dan dunia usaha.
Secara umum, ia menegaskan langkah BI menurunkan suku bunga sudah tepat. Dengan inflasi yang terjaga, cadangan devisa yang memadai, serta neraca dagang yang terus mencatat surplus, ruang untuk melanjutkan penurunan suku bunga masih terbuka.
"Kebijakan ini penting agar gap antara target pertumbuhan pemerintah dan realisasi ekonomi tidak semakin melebar, sekaligus menjaga prospek ekonomi Indonesia tetap solid ke depan," tuturnya.
Terpisah, ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Hosianna Evalita Situmorang menyatakan BI secara mengejutkan menurunkan BI Rate menjadi 4,75% pada September 2025. Upaya ini dinilai untuk memperkuat dukungan moneter dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bersamaan dengan itu, BI juga memangkas suku bunga deposit facility sebesar 50 basis poin menjadi 3,75% dan lending facility sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% guna memperdalam pelonggaran di sistem perbankan.
"Dukungan likuiditas tetap dipertahankan BI melalui penyesuaian kepemilikan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder yang hingga September mencapai Rp217,1 triliun," jelas Hosianna.
Kondisi likuiditas dalam negeri juga terjaga longgar dengan imbal hasil SRBI yang rendah di 5,08% dan penerbitan bersih SRBI sebesar Rp5,4 triliun hingga 12 September, menegaskan peran BI sebagai penyangga likuiditas.
Pertumbuhan kredit perbankan sempat pulih menjadi 7,56% pada Agustus 2025, meski bank masih cenderung menempatkan dana pada instrumen surat berharga dibanding menyalurkan kredit. Namun, percepatan belanja fiskal, penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di perbankan, serta kesepakatan dagang positif dengan Uni Eropa menjadi faktor penopang tambahan.
Dengan inflasi yang diperkirakan tetap berada dalam target 1,5-3,5% dan tren pelonggaran Fed Funds Rate, arah kebijakan moneter domestik kemungkinan masih akan cenderung akomodatif. (E-4)