Praktik greenwashing dinilai berpotensi merusak semangat keberlanjutan jika masyarakat tidak kritis dalam menyikapinya.
Istilah greenwashing merujuk pada upaya menampilkan citra ramah lingkungan secara berlebihan atau palsu untuk kepentingan bisnis maupun politik, tanpa perubahan nyata yang mendukung kelestarian lingkungan.
Hal ini dibahas oleh Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Andrey Andoko dalam panel diskusi pada kumparan Green Initiative Conference (GIC) 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (17/9).
Andrey menjelaskan kampus memiliki peran besar dalam membentuk kesadaran mahasiswa agar tidak terjebak pada praktik tersebut.
Ia menegaskan, kampusnya telah menjadikan keberlanjutan sebagai pilar utama dalam aktivitas akademik maupun kemahasiswaan.
“Seperti di UMN sendiri mencanangkan sustainability itu menjadi bagian utama dari semua kegiatan di akademis maupun kemahasiswaan. Artinya apa? Bahwa semua kegiatan di kampus itu sudah harus outcome-nya itu harus terkait dengan sustainability. Nah, kemudian kami menggunakan framework 17 SDGs,” ujar Andrey.
Ia menambahkan, penerapan kerangka kerja Sustainable Development Goals (SDGs) membantu kampus memastikan langkah yang dilakukan nyata, bukan sekadar greenwashing.
“Nah, kemudian apa yang sudah dilakukan, praktik baik yang dilakukan di kampus ya dibawa ke rumah. Nah, tapi tentu hati-hati, tantangannya adalah setelah dari rumah ke masyarakat bisa jadi kondisinya berbeda,” kata Andrey.
“Tapi paling tidak, di kampus sudah melakukan itu dan semua mahasiswa, kampus punya komitmen dan semua mahasiswa mengikuti komitmen tersebut,” lanjutnya.
Sementara itu, dosen dan peneliti Program Studi Teknik Lingkungan ITB, Moch. Chaerul, menyoroti tanggung jawab individu dalam mengelola sampah agar aksi ramah lingkungan tidak hanya bersifat simbolis.
“Jadi sampah adalah tanggung jawab kita. Itu keyword-nya ya, sehingga apa pun, termasuk juga berbagai macam kegiatan tadi, kita harus bertanggung jawab terhadap apa yang kita hasilkan. Karena sampah tidak kita kehendaki sebenarnya. Makanya terminologinya adalah timbulan bukan produksi. Kalau produksi ya sesuatu yang kita inginkan,” imbuhnya.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak mengambil jalan pintas dalam menjaga lingkungan.
“Sehingga, kembali lagi, apa pun yang kemudian kita lakukan, berbagai macam aktivitas, ya dipikir panjang gitu ya. Jangan kemudian pendek akal, pokoknya bersih lingkungan saya, tetapi lingkungan orang lain jadi kotor begitu ya,” ujar Chaerul.
“Walaupun kemudian ya itu bukan sepenuhnya salah kita juga begitu ya, karena mungkin ya Read Entire Article