TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie mengingatkan soal penguasaan kecerdasan buatan (AI) tak sepenuhnya bisa dijadikan modal untuk bersaing pada masa depan. Stella mengatakan pendidikan saat ini harus berorientasi pada penumbuhan karakter, empati serta kemampuan berpikir tingkat tinggi yang tak dapat direplikasi oleh mesin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan pendidikan pada era AI harus menjawab tiga hal pokok. Pertama, peserta didik harus memiliki kemampuan literasi AI. Bukan sekadar mengenal atau menggunakan AI, tapi mampu mengartikulasikan secara sistematis dan menilai mana masalah yang dapat diselesaikan AI dan mana yang memerlukan masukan manusia.
“Kedua, pendidikan harus melatih kapasitas pengambilan keputusan manusiawi,” kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu, 25 Juni 2025. AI bisa memproses data. Namun, Stella mengingatkan AI tidak bisa menggantikan intuisi, penilaian moral, dan kebijaksanaan kontekstual yang hanya bisa dimiliki manusia.
Jika pendidikan gagal menanamkan kemampuan ini, maka, menurut Stella, manusia akan kalah bukan karena AI lebih pintar, tetapi karena manusia menyerahkan seluruh proses berpikirnya kepada mesin.
Hal pokok yang ketiga, Stella mengingatkan bahwa pendidikan harus mendorong agar peserta didik memiliki pengertian atas pemikiran manusia lainnya. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain, membangun dialog, dan menyusun makna bersama adalah keterampilan mendasar yang tidak bisa ditiru oleh mesin.
Stella menegaskan pendidikan tidak seharusnya tunduk pada logika kecerdasan buatan. AI bisa tumbuh dan berkembang, tetapi hanya manusia yang bisa merasakan, memaknai, dan menyadari. “Jika pendidikan terus menjaga akar kemanusiaannya, maka tidak ada alasan untuk takut kalah dari AI,” ucapnya.