TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat membantah soal dugaan praktik jual beli kursi dalam pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru atau SPMB di Bandung, Jawa Barat. Atip menyebut pihaknya telah melakukan investigasi untuk menelusuri kebenaran isu tersebut. Hasilnya, tidak ditemukan adanya praktik jual beli kursi.
“Tidak ada ya. Justru kami melakukan investigasi dan di Bandung itu bukan kecurangan (jual beli kursi). Kami sudah konfirmasi ke wali kota,” ucap dia saat ditemui di kantornya di Gedung Kemendikdasmen, Jakarta Selatan, Selasa, 17 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Dinas Pendidikan Kota Bandung telah meminta penjelasan ke pihak sekolah yang diduga melakukan jual beli kursi pada calon murid baru. “Sudah dikumpulkan dan sudah diklarifikasi sejauh ini belum terbukti,” kata Pelaksana tugas Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Dani Nurahman kepada Tempo, Kamis 12 Juni 2025. Selain itu pihak sekolah juga diminta menandatangani pakta integritas.
Dani menyarankan agar warga tidak tergiur oleh tawaran-tawaran pihak yang menjanjikan bisa memasukkan calon murid ke sekolah negeri tertentu. Apalagi jika tawaran itu disertai dengan permintaan imbalan uang. “Waspada juga bisa saja yang menawarkan itu mengaku sebagai guru di sekolah atau bahkan sebagai pegawai Dinas Pendidikan, ikutlah jalur yang sesuai ketentuan,” ujarnya.
Munculnya kabar jual beli kursi sekolah itu berasal dari pernyataan Walikota Bandung Muhammad Farhan. Dia menyebut ada dugaan praktik jual beli kursi di SPMB itu berada di kisaran Rp 5-8 juta per orang. Pihaknya kini masih menyelidiki dan belum bisa membocorkan nama sekolah maupun pihak-pihak yang terlibat. “Kita belum bisa buka detailnya karena ini sedang berjalan. Tapi jumlahnya cukup signifikan,” katanya lewat keterangan tertulis, Selasa, 10 Juni 2025.
Menurut Farhan, pemerintah Kota Bandung terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk memastikan proses ini berjalan adil dan transparan. “Kami tidak ingin ada yang merasa dilindungi atau diperlakukan istimewa,” katanya. Dia mengaku prihatin atas maraknya modus calo pendidikan yang kembali muncul setiap musim penerimaan siswa baru.
Anwar Siswadi dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini