TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) Theo Hesegem meminta kepada petinggi TNI untuk tidak membela prajuritnya yang bersalah lantaran membunuh warga sipil di Papua. Pernyataan itu merespons bantahan yang disampaikan Mabes TNI ihwal kematian Abral Wandikbo pada Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Mereka harus jujur, karena rakyat Indonesia yang jadi korban. Kalau anak buahnya salah, bilang salah," kata Theo pada Rabu, 18 Juni 2025.
Berdasarkan keterangan saksi dan pihak keluarga, ujarnya, Abral dibunuh secara keji oleh prajurit TNI yang bertugas di Yuguru, Papua. Dalam temuannya, korban tewas dalam keadaan terikat dan bagian wajahnya termutilasi.
Dia mempertanyakan bantahan Mabes TNI yang menyebut Abral diduga tewas karena lompat ke jurang. "Saat ditemukan, tangannya terikat dan dalam kondisi termutilasi. Apa bisa Abral memotong telinganya sendiri?" ucap Theo.
Aktivis HAM ini juga menyoroti tindakan sewenang-wenang militer dalam melakukan penindakan terhadap warga sipil. Padahal, menurut dia, tugas itu seharusnya dilakukan oleh aparat kepolisian.
Dia mengatakan, seluruh kesaksian dan temuannya telah dilaporkan ke Pusat Polisi Militer atau Puspom TNI pada pertengahan Juni lalu. Theo meminta agar penyelidikan kasus ini diusut tuntas dan melibatkan pihak eksternal.
"Jika penyelidikan internal dari TNI, kami khawatir akan ada manipulasi," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan atau Kapuspen TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan tudingan keterlibatan TNI dalam pembunuhan Abral sebagai propaganda dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Menurut dia, korban tewas merupakan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB-OPM wilayah Nduga.
"Tudingan ini selalu dilakukan oleh OPM apabila ada anggotanya yang tertembak," ujar Kristomei dalam keterangannya, dikutip pada Ahad, 15 Juni 2025. TNI, klaim Kristomei, memiliki bukti yang cukup untuk menyatakan Abral sebagai bagian dari kelompok separatis tersebut.
Kristomei membenarkan adanya penangkapan terhadap Abral Wandikbo yang dilakukan prajurit TNI di Daerah Yuguru, Papua Pegunungan. Kristomei mengklaim, operasi penindakan itu dilakukan terukur dan profesional. Setelah beberapa hari ditahan di Pos TNI, Abral dibawa oleh prajurit TNI ke Kampung Kwit. Kristomei mengatakan, hal itu dilakukan untuk mencari senjata organik yang disimpan kelompok OPM di honai (bangunan rumah) di Kampung Kwit.
"Di tengah perjalanan, Abral melarikan diri. Kemudian prajurit TNI mengeluarkan tembakan peringatan," ucapnya. Kristomei mengatakan, Abral melarikan diri dan melompat ke arah jurang. Namun saat itu aparat TNI memutuskan untuk tidak melanjutkan upaya pengejaran terhadap Abral. Penyebabnya, klaim Kristomei, adalah ancaman faktor keamanan.
Temuan Koalisi Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil beserta YKKMP telah menghimpun kesaksian masyarakat soal kematian Abral. Dalam laporan tersebut, Abral dikenal sebagai warga sipil yang sehari-harinya bertani dan tidak memiliki keterlibatan dengan OPM.
"Menurut keterangan saksi dan keluarga korban, kegiatan sehari-hari Abral adalah merawat ayahnya yang sakit selama 4-5 tahun terakhir," demikian tertulis dalam laporan Koalisi Masyarakat Sipil.
Berdasarkan temuan Koalisi, Abral disebut dibawa prajurit TNI keluar pos menuju pinggir kali Mrame pada malam setelah beberapa hari sebelumnya ditahan. Lokasi ini diduga menjadi tempat anggota militer membunuh Abral.
Jasad Abral dibuang ke area perkebunan. Masyarakat yang memberikan kesaksian mengaku melihat aktivitas sejumlah prajurit TNI di lokasi Abral dibunuh. Namun, anggota TNI yang ditemui masyarakat mengatakan Abral melarikan diri ketika hendak dibawa menuju ke Kampung Kwit.
Sehari berselang, keluarga korban menemukan jasad Abral dalam keadaan termutilasi di bagian wajah. Tangan Abral juga ditemukan telah memakai gelang bermotif Bintang Kejora. Salah satu saksi memastikan bahwa Abral tidak pernah memakai gelang bermotif simbol yang identik dengan OPM tersebut.