Liputan6.com, Jakarta - China kembali menunjukkan ambisinya dalam perlombaan teknologi global, kali ini dengan usulan besar terkait tata kelola kecerdasan buatan (AI) di dunia internasional. organisasi kecerdasan buatan (AI) global
Mengutip Engadget, Senin (28/7/2025), Perdana Menteri China Li Qiang mengungkapkan rencana pembentukan organisasi kerja sama global untuk AI dalam gelaran World Artificial Intelligence Conference (WAIC) 2025 yang berlangsung di Shanghai.
Dalam pidatonya, Li memperingatkan bahwa tanpa koordinasi global yang solid, AI berisiko menjadi alat eksklusif yang hanya dikuasai segelintir negara dan perusahaan besar.
Ia menekankan pentingnya pembentukan organisasi AI global untuk pemerataan akses teknologi agar AI tidak menjadi monopoli yang memperbesar kesenjangan digital dunia.
"Untuk itu, kami menyerukan pembentukan kerangka kerja sama global yang inklusif dan berbasis konsensus luas," ujar Li.
China juga menyatakan siap mendorong pengembangan AI berbasis open source, sekaligus membagikan solusi teknologinya kepada negara-negara berkembang, demi ekosistem global yang lebih adil dan kolaboratif.
Bagikan Teknologi AI ke Negara Berkembang
Dalam lanjutan pidatonya, Perdana Menteri Li Qiang menegaskan komitmen China terhadap teknologi AI tidak hanya sebatas pengembangan internal.
Ia menyampaikan bahwa China siap berbagi solusi, inovasi, dan teknologi AI kepada negara-negara berkembang, terutama yang berada di kawasan selatan global.
Menurutnya, kolaborasi semacam ini penting untuk memastikan bahwa manfaat AI tidak hanya dinikmati negara-negara maju, tetapi juga dapat diakses secara merata oleh seluruh dunia.
Li juga menyoroti perbedaan pendekatan dan regulasi AI yang saat ini masih sangat bervariasi di berbagai negara. Fragmentasi ini, menurutnya, berisiko menghambat pertumbuhan AI yang adil dan aman.
Ia pun menyerukan perlunya koordinasi lintas negara untuk menyusun kerangka tata kelola AI global yang inklusif dan memiliki konsensus luas.
“Kita harus menyelaraskan visi dan aturan agar pengembangan AI dapat memberikan dampak positif secara kolektif, bukan menciptakan jurang ketimpangan baru,” ujar Li di hadapan peserta konferensi WAIC 2025.
Isyarat Sindiran untuk AS?
Meski tidak secara eksplisit menyebut Amerika Serikat dalam pidatonya, banyak pihak menilai pernyataan Perdana Menteri Li Qiang sebagai sindiran terselubung terhadap kebijakan ekspor teknologi dari negara-negara Barat, khususnya AS.
Selama ini, AS memang diketahui memberlakukan pembatasan ketat terhadap ekspor chip dan teknologi AI ke China, langkah yang dinilai sebagai bagian dari upaya membendung laju perkembangan teknologi Tiongkok.
Salah satu dampaknya terlihat dari langkah NVIDIA, yang terpaksa mengembangkan chip versi khusus agar tetap dapat dijual ke pasar China tanpa melanggar regulasi ekspor.
Di sisi lain, perusahaan raksasa seperti Huawei semakin gencar mengembangkan sistem AI mereka sendiri, sebagai strategi mandiri untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi luar.
Pernyataan Li pun muncul tak lama setelah AS merilis AI Action Plan, sebuah strategi baru untuk menjaga dominasi mereka di bidang AI global dengan meminimalkan campur tangan pemerintah dalam pengaturan perusahaan AI domestik.