TEMPO.CO, Jakarta - Krisis kesejahteraan pekerja di sektor perikanan menjadi salah satu dari sekian karut marut persoalan buruh di Bali yang dibahas dalam Audiensi Aliansi Perjuangan Rakyat Bali bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali pada Selasa, 10 Juni 2025 di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Denpasar.
Kendati Bali merupakan salah satu pusat pendaratan pengolahan Industri, distribusi dan ekspor hasil perikanan nomor dua terbesar di Indonesia setelah Pelabuhan Perikanan Samudera Muara Baru di Jakarta, Diani Ode, perwakilan Destructive Fishing Watch (DFW) mengatakan kesejahteraan pekerja di sektor ini belum cukup diperhatikan.
Kesejahteraan Pekerja Sektor Perikanan
“Kita mungkin tidak menyadari, bagaimana perjalanan ikan sampai di meja makan kita yang menjadi hidangan mewah itu,” kata Diani dihadapan jajaran anggota DPRD dan Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Bali Selasa, 10 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertemuan tersebut, dia mengatakan, ada perjuangan dari para penangkap ikan yang tidak dibayar setimpal dengan beban kerja yang dilakukan. Terlebih, hak atas perlindungan belum mereka terima secara penuh.
“Kami kemarin sempat melakukan riset juga di Pelabuhan Benoa, dan kami mendapatkan memang kondisi di sektor ini masih sangat memprihatinkan. Karena memang mereka ini bekerja di lautan bebas, tapi lagi-lagi dari aspek perlindungan mereka masih belum mendapatkan secara penuh. Kemudian, terkait hak-hak mereka juga terkait gaji dan upah mereka, jam kerja yang panjang, mereka harus bekerja 12 jam bahkan sampai 20 jam di lautan bebas, tapi upah yang mereka dapatkan tidak sesuai,” kata dia kepada Tempo, Selasa, 10 Juni 2025.
Diani mengatakan, akar dari permasalah ini adalah sistem penyerapan tenaga kerja yang dilakukan secara non-formal. Dimana, para pekerja direkrut melalui calo. “Jadi mereka terkadang terjebak di dalam utang, karena calo ini merekrut mereka dengan berbagai persyaratan. Tapi mereka mau bekerja di Industri ini, itu karena iming-iming oleh calo, diming-imingi gaji tinggi, fasilitas bagus, tapi setelah mereka bekerja upah yang diberikan tidak sesuai dengan yang diiming-imingi,” kata dia.
Sistem ini membuat para pekerja terjebak dalam situasi eksploitasi, kerja paksa, bahkan perdagangan orang. “Mereka direkrut, ditampung, kemudian dijual ke pemilik kapal, itu kami temukan setelah melakukan penyelidikan di beberapa pelabuhan di Indonesia,” ujarnya.
Diani lebih lanjut menjelaskan bahwa awak kapal perikanan (AKP) ini sebetulnya tidak memahami bahwa telah terjadi praktik perdangan orang, sebab pada prosesnya dilakukan seperti penyaluran tenaga kerja. “Karena mereka direkrut kan sama calo, diming-imingi, habis itu ditampung di kost-an atau rumah penampungan yang biasa disiapkan oleh calo, setelah ditampung mereka dicarikan pasaran ke kapal-kapal, ‘ini ada ABK saya’, pemilik kapal harus membayar ke calo ini itu Rp 1 juta sampai Rp 2 juta per kepala,” kata Diani.
Sistem Upah
Ihwal upah, pada sektor ini diterapkan dua sistem pengupahan yakni sistem bagi hasil dan gaji bulanan. Bagi hasil merupakan upah yang diberikan berdasarkan hasil tangkapan ikan saat operasi penangkapan. Sayangnya, sistem pengupahan ini kerap tidak transparan.
“Setelah bagi hasil ini para ABK (anak buah kapal) kan mereka tidak tahu berapa hasil tangkapan mereka dalam satu trim karena mereka tahunya hanya melakukan aktivitas penangkapan, setelah finis kontrak mereka pulang ke daratan dan disinkronkan itu baru dihitung berapa hasil tangkapan selama melakukan penangkapan ikan. Nah, di situ pula tidak ada transparansi berapa hasil yang mereka dapatkan dan itulah yang dibagi ke ABK,” ujarnya.
Sementara itu, gaji bulanan juga tidak lebih baik, menurutnya rata-rata gaji bulanan tertinggi yang diperoleh berkisar Rp 1,8 juta perbulan, kendati ada bonus hasil tangkapan, Diani menilai bonus tersebut tidak menjamin kesejahteraan pekerja. Sebab, profesi ini adalah profesi musiman, yang lanjut atau tidaknya ditentukan oleh alam. Jika cuaca ekstrem mereka harus berhenti menangkap ikan.
“Ada juga gaji bulanan, nah gaji bulanan ini yang kami dapatkan tertinggi itu Rp 1,8 juta satu bulan, walaupun ada semacam bonus hasil tangkapan tapi kan ini tidak menjamin karena ini kan kerja di laut, bahkan mereka kerjanya itu normalnya paling 6 bulan atau 3 bulan, kalau sudah musim angin itu mereka berhenti bekerja,” kata dia.
Adapun alasan para pekerja ini sering terlilit hutang adalah karena para calo umumnya menawarkan kasbon sebelum para pekerja mulai melaut, uang tersebut digunakan untuk membeli perlengkapan selama menangkap ikan, namun ketika kembali alih-alih mendapat untung, hasil yang diperoleh justru sering kali tidak menutup jumlah kasbon untuk modal menangkap ikan.
Rekomendasi LBH
Menyikapi persoalan ini, Lembaga Bantuan Hukum Bali (LBH Bali) menilai perlu ada regulasi yang lebih kuat dalam yang mendorong kesejahteraan pekerja di sektor kelautan dan perikanan.
“Perlu ditingkatkan ke perda yang sifatnya itu luas dan terus menerus, penting untuk adanya perda perlindungan pekerja perikanan untuk bisa mengakomodir terkait rantai pengawasan yang tumpang tindih yang di kelautan perikanan ada syahbandarnya, kemudian ada pemerintah yang mengatur soal pengawas ketenagakerjaan, kemudian di Permen Perhubungan yang mengatur soal dirjennya langsung yang mengawasi, kemudian terdapat substansi terkait dengan perekrutan yang sifatnya tumpang tindih antara tiga Kementerian tersebut,” kata I Gede Andi Winaba perwakilan LBH Bali, Selasa, 10 Juni 2025.
Lebih jelas, dilansir dari rilis yang diterima Tempo, LBH Bali mengajukan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah pusat hingga daerah untuk mengupayakan kesejahteraan pekerja di sektor kelautan dan perikanan.
Pertama, pemerintah pusat perlu segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi ini menyediakan standar minimum internasional dalam hal perekrutan, kondisi kerja, keselamatan, waktu kerja dan istirahat, serta pemulangan awak kapal.
Kedua, pemerintah Provinsi Bali perlu merancang dan menetapkan peraturan daerah tentang perlindungan pekerja perikanan. Peraturan tersebut harus mencakup ketentuan mengenai tata kelola perekrutan yang transparan dan akuntabel, substansi minimum perjanjian kerja laut, pengawasan terhadap perusahaan perekrut, serta mekanisme pengaduan dan pemulihan hak pekerja.
Ketiga, membentuk satuan tugas lintas kementerian yang memiliki mandat regulatif, pengawasan, dan penanganan kasus pelanggaran terhadap hak-hak AKP. Adapun, struktur kerja kolaboratif antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Ketenagakerjaan perlu diformalkan melalui peraturan bersama atau mekanisme kelembagaan khusus.
Keempat, penguatan substansi perjanjian kerja laut melalui regulasi teknis yang mengatur format baku dan isi minimum perjanjian. Perjanjian tersebut wajib mencakup hak atas upah yang layak, waktu kerja yang manusiawi, jaminan sosial, serta perlindungan hukum. Semua dokumen perjanjian harus diverifikasi dan didaftarkan oleh lembaga pemerintah sebelum keberangkatan AKP, dan menjadi dasar dalam proses inspeksi maupun penyelesaian sengketa.
Kelima, penguatan kapasitas pengawas ketenagakerjaan, syahbandar, dan petugas pelabuhan perikanan melalui pelatihan terpadu dan penyusunan standar operasional prosedur yang berorientasi pada perlindungan pekerja. Inspeksi terhadap kapal dan dokumen ketenagakerjaan juga harus dilakukan secara terpadu, tidak terbatas pada aspek teknis. Dalam pelaksanaannya, keterlibatan aparat penegak hukum serta organisasi masyarakat sipil menjadi penting untuk meningkatkan akuntabilitas pengawasan.
Tanggapan Dinas Ketenagakerjaan Bali
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali Ida Bagus Setiawan, menyebut aspirasi ihwal hal-hal lintas sektoral seperti kesejahteraan pekerja perikanan, kata dia, yang dinilai krusial akan dibahas lebih lanjut guna mencari solusi yang komprehensif dan tepat sasaran.
Kemudian, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali I Nyoman Suwirta, mengakui aspirasi yang disampaikan merupakan keresahan yang terjadi di masyakat dan belum terselesaikan. Ia pun menilai pentingnya pelibatan pekerja dan seluruh stakeholder terkait dalam menyusun sebuah regulasi. Karenanya, dia mengimbau agar masyarakat melaporkan perusahaan-perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya terhadap buruh.
“Kalau ada perusahaan yang masih begitu kami akan turun,” kata dia.
Untuk diketahui, persoalan ini pada dasarnya telah mendapatkan atensi dari pemerintah Provinsi Bali, dibuktikan dengan pembentukan Forum Perlindungan Pekerja Perikanan dan Nelayan dengan tiga kelompok kerja (pokja) pada Mei 2023 yakni Pokja Penyelarasan Regulasi, Pokja Pengawasan dan, Pokja Edukasi dan Database. Kendati demikian, aliansi menilai penting pula dirancang sebuah rambu-rambu untuk memastikan kesejah...