TEMPO.CO, Jakarta - Lebih dari 1.000 calon jemaah haji furoda asal Indonesia menelan kekecewaan karena gagal berangkat ke Tanah Suci tahun ini. Setelah merogoh kocek ratusan juta rupiah, namun ternyata Pemerintah Arab Saudi memutuskan tidak mengeluarkan visa haji furoda tahun ini.
Haji furoda adalah program haji yang dikelola langsung oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Untuk mendapatkan kuota visa dari pemerintah Arab Saudi calon jemaah harus berada di luar kuota haji reguler. Hal inilah yang menyebabkan haji furoda disebut sebagai haji nonkuota atau dikenal juga dengan visa mujamalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umumnya terdapat dua jenis visa haji furoda, yakni visa masyarakat umum yang ditujukan bagi masyarakat yang ingin melaksanakan haji tanpa menunggu waktu lama dan visa undangan yang diberikan secara khusus serta gratis kepada orang pilihan dari pemerintah Arab Saudi.
Legalitas haji furoda juga telah diakui oleh pemerintah Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah. Program haji ini juga diawasi oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang harus melaporkan pemberangkatan calon jemaah haji kepada Kementerian Agama.
Kendati begitu, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai bahwa praktik pemberian akses haji furoda kini telah bergeser dari ketentuan awal. Di mana yang semula harus berasal dari undangan resmi disertai pemberian fasilitas haji oleh pemerintah Arab, kini menjadi perjanjian bisnis antara agen perjalanan dengan pihak Kerajaan Arab Saudi.
“Berbeda dengan visa mujamalah yang dikeluarkan pejabat pemerintahan Arab Saudi sebagai undangan resmi kepada warga negara Indonesia, visa furoda ini kabur sumbernya,” katanya dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 7 Juni 2025. Lukman menyebut penerbitan visa furoda penuh dengan ketidakpastian.
Alasannya, kata Lukman, penerbitan dan tata cara mendapatkan visa haji furoda minim transparansi. Termasuk bagi pemerintah Indonesia yang ia sebut sama sekali tak mengetahui siapa pihak pengundang dan siapa saja yang diundang serta berapa jumlah visa yang akan terbit. Sehingga Lukman menyimpulkan transaksi jual beli paket haji dengan visa furoda dikategorikan sebagai ‘gharar’ dalam hukum Islam yang mengandung unsur spekulasi karena tidak pasti.
Tak hanya merugikan calon jemaah, ketidakpastian penerbitan visa haji furoda juga dianggap mengancam hubungan diplomatik Indonesia dengan Arab Saudi. “Ketika visa jenis ini tak kunjung terbit hingga jelang wukuf, terjadilah saling lempar kesalahan dan tanggung jawab antara calon jemaah haji, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), pemerintah Indonesia, dan pemerintah Arab Saudi,” katanya.
Lukman meyakini kekisruhan soal visa haji furoda sulit teruai karena tidak jelas harus menuntut pertanggungjawaban pada siapa. Sehingga ia mengusulkan agar pemerintah Arab membatasi izin penggunaan visa haji nonkuota lewat visa mujamalah yang sangat dibatasi. Dengan kata lain, Lukman mendorong agar ibadah haji hanya dilaksanakan dengan visa kuota dan visa nonkuota yang resmi dari pemerintah Arab. “Adapun visa furoda yang rawan ‘diperdagangkan’ itu ditiadakan saja” ujarnya mengusulkan.
Menanggapi usulan tersebut, Kementerian Agama belum mengambil sikap. “Saya belum bisa komentari masalah ini,” kata Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Hilman Latief saat dihubungi pada Sabtu.
Sebelumnya Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan keterlambatan penerbitan visa haji furoda bukan hanya dialami jemaah dari Indonesia. “Karena bukan hanya di Indonesia seperti itu ya, tapi di negara lain juga sama,” ucap Nasaruddin pada Selasa, 27 Mei 2025, seperti dikutip dari Antara.
Keterlambatan penerbitan visa ini, kata Nasaruddin, bukan wewenang Kementerian, melainkan ranah otoritas Arab Saudi. Karena itu, Kementerian hanya terus mengomunikasikannya dengan Kerajaan Arab Saudi.
Adapun Deputi Bidang Koordinasi Pelayanan Haji Dalam Negeri Badan Penyelenggara Haji (BPH) Puji Raharjo mengatakan belum terbitnya visa haji furoda menjadi sinyal bagi masyarakat agar tidak tergiur dengan tawaran berhaji dengan harga murah dan iming-iming berangkat dengan visa furoda.
“Saya minta masyarakat tidak tergiur dengan tawaran berangkat haji tanpa visa resmi, seperti jalur haji furoda yang tidak menggunakan visa haji dari pemerintah Arab Saudi,” kata Puji.
Dalam laporan Tempo edisi 2 Juni 2025 bertajuk “Akar Masalah Sengkarut Visa Haji Furoda” salah satu penyebab dari tidak terbitnya haji jalur khusus ini ditengarai karena Kerajaan Saudi sedang menata pelaksanaan haji pada tahun ini.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah RI (Amphuri) Farid Aljawi mengatakan penataan itu diperlukan berdasarkan evaluasi haji tahun lalu. Di mana 80 persen dari 1.301 jemaah haji yang meninggal di Saudi memakai visa nonhaji. Selain itu, Farid mengungkap tahun lalu sejumlah jemaah juga memprotes karena tenda mereka dihuni oleh jemaah dengan pemegang visa non haji.
Walhasil, Kerajaan Saudi pada musim Haji 2025 mengurangi calon jemaah. Biasanya jumlah jemaah haji bisa mencapai 2,5 juta orang. Namun, data pada 5 Zulhijah 2025 menunjukkan hanya ada sekitar 1,5 juta orang yang menunaikan haji. Asosiasi ini pun merekomendasikan agar jemaah beralih menggunakan visa haji khusus.
Terhadap polemik visa haji furoda, Dewan Perwakilan Rakyat dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia meminta pemerintah untuk tidak lepas tangan. Anggota Tim Pengawas Haji DPR RI Abdul Fikri Faqih mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bagi para calon jemaah. Menurut Fikri, sudah sepatutnya pemerintah menghadirkan aturan teknis yang jelas serta pengawasan guna memastikan jamaah calon haji mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum yang memadai.
"Ini bukan semata-mata urusan bisnis, melainkan juga soal perlindungan hak warga negara. Kehadiran negara mutlak diperlukan agar mereka yang sudah berniat menunaikan ibadah haji dan telah memenuhi kewajiban finansial, tetap terlayani dengan baik dan tidak dirugikan," ucapnya.
Ia juga mengatakan bahwa revisi Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU Haji) penting untuk segera disahkan guna menjamin perlindungan hak jamaah haji.
Adapun YLKI menekankan bahwa pemerintah harus menjamin agar jemaah haji furoda yang batal berangkat mendapat pengembalian dana secara adil, wajar, dan transparan. Ketua YLKI Niti Emiliana mendorong pemerintah untuk mengawasi secara ketat dan menjamin kejelasan waktu pengembalian dana sehingga konsumen tidak mengalami kerugian lebih lanjut.
YLKI juga meminta pemerintah untuk menghentikan aktivitas penjualan kuota haji furoda oleh agen-agen yang masih menawarkan program tersebut, serta mewaspadai potensi penipuan terhadap calon jemaah haji.
"YLKI menegaskan bahwa perlindungan konsumen dalam konteks penyelenggaraan haji adalah bagian dari tanggung jawab negara yang tidak bisa diabaikan," kata Niti.