TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bakal mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan jadwal pemilu serentak nasional dan daerah. Menurut dia, pemerintah masih memiliki waktu untuk mengkaji putusan tersebut.
"Saya belum menyampaikan posisi. Kami ingin waktu untuk mengkaji. Masih ada waktu," kata Tito ditemui di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 2 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengatakan, nantinya jajaran pemerintah akan membahas putusan MK tersebut. Kemendagri, ujar dia, akan mengajak Kementerian Sekretaris Negara, Kementerian Hukum, hingga Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Kemananan.
"Apakah (putusan MK) sesuai dengan aturan yang ada termasuk konstitusi dan analisis, dampak positif-negatit, dan apa yang akan kami lakukan ke depan," ucap Tito.
Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda sebelumnya mengatakan, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum di nasional dan daerah kontradiktif dengan putusan terdahulu. Rifqi mengatakan seharusnya MK konsisten dengan putusan perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi DPR wewenang untuk menentukan model keserentakan pemilu.
Putusan MK itu dianggap telah mengambil alih tugas pembuat Undang-undang. "Tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model (pemilu) ini," ujarnya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 30 Juni 2025.
Rifqi menekankan bahwa MK bertugas untuk menguji undang-undang bukan menghasilkan norma sendiri. Sehingga ia menyebut putusan MK itu akan mencederai proses demokrasi dan membuat Indonesia tak bisa menjadi negara hukum yang baik.
Berdasarkan situasi yang kompleks itu, saat ini DPR belum memutuskan sikap resmi untuk merespons putusan MK. "Betul-betul kami kaji kali ini. Karena kami juga tidak mau sekonyong-konyong melaksanakan tapi kemudian justru dalam pelaksanaan itu kami berpotensi melanggar aturan," kata politikus Partai NasDem itu.
Pada Kamis, 26 Juni 2025, MK memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pemilu nasional yang berdekatan dengan pemilu lokal menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat menilai kinerja pemerintahan dalam hasil pemilu nasional. Dalam rentang waktu yang sempit itu, hakim menilai pelaksanaan pemilu yang serentak menyebabkan masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.