Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mendorong peran aktif sekolah dalam menanamkan kepedulian lingkungan sejak dini. Hal ini diwujudkan lewat dua langkah strategis. Penyusunan instrumen penilaian perilaku lingkungan di sekolah dan terbitnya Peraturan Menteri KLHK Nomor 05 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Program Adiwiyata.
Perubahan mendasar terjadi. Program Adiwiyata kini tidak lagi diposisikan sebagai ajang penghargaan, melainkan telah menjadi gerakan nasional berkelanjutan yang melibatkan sekolah, pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah.
"Kalau dulu orang melihat Adiwiyata sebagai penghargaan atau lomba, sekarang paradigma itu berubah. Kita tekankan bahwa ini adalah program yang harus dijalankan secara nyata di sekolah," Kepala PPGLH KLHK, Dra. Jo Kumala Dewi, M.Sc saat berbincang dengan Health Liputan6.com dalam sebuah kesempatan.
Luncurkan Dua Alat Ukur Baru: IPPLHS dan IPPBLHS
Sebagai bagian dari penguatan substansi program, KLHK bersama Bakti Barito dan LabSosio Universitas Indonesia mengembangkan dua instrumen baru:
- Instrumen Perilaku Peduli Lingkungan Hidup Sekolah (IPPLHS)
- Instrumen Program Peduli dan Budaya Lingkungan Hidup Sekolah (IPPBLHS)
Pendekatan Berbasis Data
IPPLHS mengukur perilaku siswa secara individu dan kolektif dalam hal kepedulian terhadap isu lingkungan. Aspek yang dinilai meliputi pengetahuan, sikap, perilaku pribadi, dan perilaku bersama.
Sementara IPPBLHS berfokus pada bagaimana sekolah secara kelembagaan menjalankan prinsip-prinsip keberlanjutan, seperti pengelolaan sampah, penghijauan, hingga kerja sama dengan komunitas dan pemangku kepentingan.
"Melalui alat ukur ini, kita bisa melihat apakah pendidikan lingkungan yang kita berikan sudah efektif, dan bisa dijadikan dasar pengambilan keputusan ke depan," tambah Jo.
Direktur Bakti Barito, Dian A. Purbasari, menambahkan,"Kita perlu alat ukur yang obyektif dan bisa menunjukkan hasil nyata, agar seluruh pemangku kepentingan di ekosistem pendidikan dapat melakukan evaluasi dan peningkatan secara terarah."
Uji coba awal telah dilakukan pada beberapa sekolah dasar di Jawa Barat. Selanjutnya, instrumen ini akan diuji lebih luas di jenjang SD, SMP, dan SMA di wilayah Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.
"Dengan pendekatan berbasis data, kita bisa memperkuat kerja sama antara sekolah, pemerintah, lembaga sosial, dan kampus. Tujuannya satu: mencetak generasi yang benar-benar peduli lingkungan," Peneliti LabSosio UI, Dr. Sulastri Sardjo.
Dari Lomba ke Program Nyata
Program Adiwiyata kini menuntut perubahan paradigma. Jika sebelumnya fokus pada pencapaian penghargaan, kini sekolah dituntut untuk benar-benar menerapkan prinsip lingkungan secara berkelanjutan.
"Sekarang kita ubah, bukan lagi penghargaan, tapi penyelenggaraan program Adiwiyata. Dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan pelaporan," kata Jo Kumala.
Aturan baru ini juga menekankan peran penting pemerintah daerah. Gubernur, wali kota, dan bupati diminta menyusun rencana pelaksanaan Program Adiwiyata di wilayah masing-masing, terintegrasi dengan program lingkungan lainnya seperti Adipura dan Kampung Iklim.
"Kadang suatu kota dapat Adipura, tapi sekolah Adiwiyatanya tidak ada. Kampung iklimnya pun belum jalan. Padahal ini semua satu paket," tambahnya.
Sistem Baru Lewat SIDIA
Program Adiwiyata kini memiliki sistem tahapan yang lebih jelas. Sekolah harus melalui proses:
- Registrasi komitmen
- Pembentukan Tim Adiwiyata
- Pengisian data melalui Sistem Informasi Adiwiyata (SIDIA)
Pengawasan disesuaikan dengan kewenangan: SD dan SMP dipantau kabupaten/kota, sedangkan SMA/SMK oleh pemerintah provinsi.
Tahapan penghargaan disusun sebagai berikut:
- Registrasi / Level 1
- Adiwiyata Kabupaten/Kota (SD-SMP)
- Adiwiyata Provinsi (SMA-SMK)
- Adiwiyata Nasional
- Adiwiyata Mandiri
Sekolah yang ingin naik ke tingkat Adiwiyata Mandiri wajib membina minimal dua sekolah lain. Semakin banyak sekolah binaan, maka nilai skornya akan semakin tinggi.
Tidak Ada Lagi Sistem Perpanjangan
Berbeda dari sebelumnya, status Adiwiyata tidak perlu diperpanjang. Sekolah yang telah meraih status tersebut cukup mempertahankannya melalui komitmen nyata, tanpa proses administratif berulang.
"Program Adiwiyata ini bukan program izin, jadi tak perlu ada sistem perpanjangan. Kita kembalikan kepada tanggung jawab sosial dan kontrol dari masyarakat," katanya.
Lebih lanjut, Jo Kumala, menambahkan,"Sekali sekolah menyandang status Adiwiyata, itu harus menjadi identitas yang dipertahankan. Kalau ada sampah berserakan, ya harus dibersihkan. Bukan karena wajib, tapi karena sadar akan tanggung jawabnya."
Dengan sistem baru, dukungan regulasi, dan alat ukur berbasis data, KLHK berharap Program Adiwiyata dapat benar-benar menjadi pondasi kuat untuk mencetak generasi hijau. Anak-anak yang sadar, peduli, dan bertindak nyata dalam menjaga lingkungan.