Liputan6.com, Jakarta - Dokter spesialis yang bertugas di daerah terpencil dikabarkan akan mendapat tunjangan Rp30 juta per bulan.
Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Tunjangan Khusus bagi Dokter Spesialis, Dokter Subspesialis, Dokter Gigi Spesialis dan Dokter Gigi Subspesialis yang Bertugas di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Kebijakan ini akan diumumkan dan diluncurkan langsung oleh Presiden Prabowo pada bulan Agustus 2025 setelah sebelumnya ditandatangani pada Juli lalu.
Terbitnya Perpres ini dinilai anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, sebagai langkah strategis yang selaras dengan amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Namun ia menegaskan, kebijakan ini harus dikawal ketat agar tidak menjadi program populis saja.
“Pasal 213 dan 218 UU Kesehatan menugaskan negara menjamin akses layanan kesehatan yang adil. Tapi kalau tidak dibarengi sistem distribusi yang kuat dan fasilitas yang memadai, tunjangan ini hanya jadi kebijakan simbolik,” kata Edy dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com pada Kamis (7/8/2025).
Menurutnya, di daerah tujuan juga harus dilengkapi dengan fasilitas dan alat kesehatan yang dapat menunjang pemeriksaan medis. Jaminan keamanan dan hukum juga harus didapatkan dokter di DTPK.
Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) menonaktifkan sementara Surat Tanda Registrasi (STR) milik MSF, dokter yang melakukan pelecehan seksual pasien di Garut, Jawa Barat. KKI sudah menerima hasil investigasi Majelis Disiplin Profesi dan masih menunggu pen...
Investasi yang Baik
Perpres ini memberikan tunjangan sebesar Rp30.012.000 per bulan kepada sekitar 1.100 dokter spesialis dan subspesialis yang bertugas di wilayah DTPK.
Jika ini direalisasikan, maka dalam setahun setidaknya pemerintah mengeluarkan anggaran sekitar Rp 4 triliun. Menurut Edy, ini adalah investasi yang baik.
“Masyarakat bisa menikmati pemerataan kesehatan, diharapkan juga biaya kesehatan di DTPK bisa ditekan karena pemerataan dokter,” ungkapnya.
Terkait anggaran ini, Edy mendorong agar pendanaan untuk tunjangan harus berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dia tidak ingin ada beban untuk daerah karena masing-masing daerah memiliki kekuatan fiskal yang berbeda.
Legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini khawatir jika dibebankan daerah maka tunjangan yang diberikan ke dokter akan berbeda-beda.
“Harus ada kepastian pembiayaan lewat APBN agar penempatan dokter spesialis bisa berkelanjutan dan tidak ‘angin-anginan’,” tambah Edy.
Harus Selaras dengan Tersedianya Alat dan Teknologi Pendukung
Komisi IX DPR RI, lanjut Edy, telah membahas hal ini bersama Kementerian Kesehatan, termasuk dalam konteks pemenuhan kebutuhan layanan KJSU (Kanker, Jantung, Stroke, dan Uronefrologi) yang jadi prioritas nasional.
Dia menekankan bahwa penempatan dokter harus selaras dengan tersedianya alat kesehatan dan teknologi pendukung.
“Dokter spesialis tidak bisa bekerja maksimal kalau hanya dibekali stetoskop. Pemerintah harus menjamin tersedianya peralatan medis sesuai kebutuhan layanan spesialis. Jangan sampai ditempatkan, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Edy.
Perlindungan Hukum dan Jaminan Keselamatan Kerja
Lebih lanjut, ia juga menyoroti pentingnya perlindungan hukum dan jaminan keselamatan kerja bagi dokter yang ditempatkan di daerah dengan keterbatasan fasilitas dan risiko tinggi.
Edy meminta agar Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dilibatkan sebagai bagian dari sistem perlindungan tenaga medis.
“Jangan sampai karena alat tidak lengkap atau kondisi darurat, dokter disalahkan. Mereka butuh perlindungan hukum dan profesional yang jelas,” tegasnya.
Jika kebijakan ini dilaksanakan secara serius, konsisten, dan terintegrasi, maka akan menjadi langkah nyata menuju Universal Health Coverage (UHC) yang sesungguhnya, sambung Edy.
“Maksudnya, layanan kesehatan yang bisa diakses semua warga, di mana pun mereka tinggal. UHC itu tidak cukup hanya dengan kepesertaan BPJS Kesehatan. UHC baru akan terwujud jika dokter spesialis hadir di setiap daerah, termasuk pelosok dan perbatasan.”
“Pemerataan layanan tidak mungkin terjadi tanpa pemerataan tenaga kesehatan,” ujarnya.
Tak lupa, ia mendorong agar pemerintah daerah dilibatkan secara aktif. Menurutnya, pemda bisa membantu mempercepat keberhasilan kebijakan ini dengan menyediakan rumah dinas yang layak, akses transportasi, insentif tambahan daerah, serta lingkungan kerja yang mendukung.
“Kesehatan adalah kerja kolektif lintas sektor,” pungkasnya.