TEMPO.CO, Jakarta - Front Rakyat Tolak PSN meminta Presiden Prabowo Subianto melakukan evaluasi proyek Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK Mandalika. Anggota aliansi sekaligus Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan proyek tersebut telah menyebabkan konflik agraria seperti penggusuran masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak masyarakat yang kehilangan tanahnya, nelayan kehilangan aksesnya ke laut dan kehilangan mata pencaharian para pedagang lokal,” kata dia dalam keterangan resmi pada Sabtu, 28 Juni 2025.
Dia mengatakan, sejak proses groundbreaking KEK Mandalika pada 2011 dan pengadaan tanah 2019, proyek itu diduga telah memakan banyak korban. Masyarakat kehilangan tanah hingga nelayan kehilangan mata pencaharian.
Teranyar, pada 15 Juni 2025, masyarakat di Tanjung Aan, Nusa Tenggara Barat, menerima surat dari Vanguard. Vanguard mengklaim sebagai perwakilan investor yang telah bekerja sama dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), BUMN yang bergerak di bidang pariwisata.
Tujuan dari surat itu untuk memberikan tenggang waktu 14 hari sejak surat dikeluarkan untuk melakukan pengosongan lahan. “Batas waktu sampai 28 Juni 2025,” kata dia.
Tercatat sebanyak 186 warung, cafe, dan restoran milik warga dan para pedagang di Pesisir Pantai Tanjung Aan akan terdampak akibat penggusuran ini. Menurut Dewi, penggusuran ini akan mengorbankan 1.000 lebih warga yang selama ini menggantungkan hidupnya di sana.
“Jika kawasan pesisir pantai Tanjung Aan digusur, maka akan menghilangkan sumber pendapatan ribuan warga yang selama ini menggantungkan hidup di Pantai Tanjung Aan,” kata dia.
Sebelumnya, Maret 2025, Kantor Pertanahan Lombok Tengah menerbitkan dan menyerahkan setidaknya 12 sertifikat hak pengelolaan (HPL) kepada ITDC, yang proses pengadaan tanahnya telah dimulai sejak 2019. Dalam prosesnya itu, Dewi mengatakan, tidak ada konsultasi dan partisipasi bermakna serta transparan yang dilakukan oleh pihak ITDC, pemda dan kantor pertanahan.
“Apalagi consent (persetujuan) warga terhadap eksekusi proyek, sejak rencana pembangunan, pengadaan tanah, ganti kerugian hingga upaya pengusiran terkini di Tanjung Aan melalui Vanguard,” kata dia.
Menurut koalisi, penggusuran ini cerminan dari pelaksanaan pembangunan yang dilabeli oleh PSN, KEK yang terjadi di berbagai daerah. Proyek-proyek ini kental dengan praktek-praktek manipulasi, penggusuran dan perampasan tanah, serta tindakan intimidasi dan teror terhadap warga terdampak.
KPA mencatat dalam lima tahun terakhir (2020-2024), pengadaan tanah untuk pembangunan PSN telah menyebabkan sedikitnya 154 letusan konflik agraria di seluas 1,004,803 hektar berdampak pada 103,685 KK di berbagai daerah.
Koalisi pun mengecam PT ITDC yang melakukan pemaksaan terhadap warga di Tanjung Aan. Mereka juga meminta Kementerian ATR/BPN RI untuk mengevaluasi penetapan seluruh sertifikat HPL bagi PT. ITDC.
“Sekaligus mencabut HPL yang telah melanggar dengan memasukan tanah pemukiman, kampung, sumber kehidupan dan lahan usaha masyarakat setempat ke dalam otoritas ITDC, “ kata dia.
Koalisi juga mendesak Kementerian/Lembaga terkait dan PT ITDC menjalankan partisipasi bermakna dengan cara pelibatan sepenuhnya warga terdampak. Mengedepankan hak konstitusional dan prioritas penguasaan tanah oleh warga.
Adapun koalisi ini terdiri dari 23 kelompok masyaraka. Beberapa di antaranya yaitu KPA, AMAN, WALHI, dan KASBI.
Tempo sudah mencoba meminta tanggapan Mensesneg Prasetyo Hadi dan Juru bicara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Putri Violla. Namun, keduanya belum merespons.