TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Cek Fakta yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengecam narasi yang dipublikasikan Kantor Komunikasi Kepresidenan RI atau Presidential Communication Office (PCO) lewat sejumlah konten di akun Instagram @cekfakta.ri milik pemerintah. Dalam unggahannya, PCO melabeli berbagai pemberitaan dan pemeriksaan fakta institusi cek fakta sebagai 'click bait'. Hal ini dinilai sebagai serangan tak berdasar pada kredibilitas jurnalisme dan kualitas media arus utama.
Mekanisme dan metodologi pemeriksaan fakta pada akun yang pertama kali mengunggah kontennya pada 21 Mei 2025 itu juga dipertanyakan. Pasalnya, PCO mengklaim @cekfakta.ri merupakan kanal untuk meluruskan informasi yang terpapar disinformasi, fitnah, dan kebencian. Namun, belakangan justru mengunggah konten takarir dengan label tanpa menampilkan disinformasi yang dimaksud, termasuk bagaimana metode mengecek kebenaran informasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih menjadi konten pemeriksaan fakta, unggahan tersebut dinilai lebih mendekati propaganda. Sebab, akun PCO itu tidak menjelaskan informasi apa yang tidak tepat, tapi hanya berdasarkan klaim versi pemerintah. “Ini berbeda dengan kerja cek fakta anggota koalisi Cek Fakta yang menjunjung prinsip imparsial sesuai standar dari International Fact Checking Network (IFCN),” kata Koordinator Koalisi Cek Fakta, Adi Marsiela kepada Tempo, 13 Juni 2025.
Tangkapan layar unggahan akun instagram @cekfakta.ri yang melabeli pemberitaan media 'click bait'.
Label ‘click bait’ menurut Adi juga tak layak disematkan, karena setiap media yang mempublikasikan artikelnya pasti telah menerapkan prosedur jurnalistik. Upaya ini dapat merugikan perusahaan media dalam mendapatkan kepercayaan masyarakat. “Ini juga tidak sejalan dengan semangat kemerdekaan pers yang dijamin Undang-undang (Pers),” ujarnya.
Kepala Pusat Komunikasi, Media, dan Studi Budaya Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menjelaskan bahwa fungsi cek fakta semestinya tunduk sepenuhnya pada prinsip-prinsip jurnalistik, karena ia bagian tak terpisahkan dari praktik jurnalisme. Namun yang dilakukan PCO justru menjadikan cek fakta sebagai senjata politik mematahkan kritik, bukan untuk menjawabnya. “Tujuannya meruntuhkan kredibilitas pengkritik dan kepercayaan publik pada media. Ini berbahaya bagi demokrasi dan merupakan playbook khas rezim otoriter,” ujar Kunto.
Selain itu, PCO bukan institusi media yang terikat oleh kode etik jurnalistik. Adanya kepentingan politik itu membuat Kunto mempertanyakan metodologi yang digunakan PCO dalam memeriksa fakta. Menurut Kunto, masalah perbedaan versi itu tidak berasal dari tidak dijalankannya mekanisme hak jawab oleh pemerintah. “Melainkan pada niat untuk mengaburkan fakta dan mendiskreditkan media atau aktivis mengkritik,” katanya.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dhyatmika juga menilai PCO sedang melakukan sensor atas pemberitaan media dengan memberikan label ‘click bait’ tanpa dasar data yang memadai. Apalagi pemberian label ‘click bait’ itu dibarengi dengan publikasi konten propaganda pemerintah yang diklaim sebagai cek fakta.
“PCO sepertinya tengah menantang kuasa media dalam pembentukan narasi publik. Cara termudah melawannya adalah dng konsisten mendorong keberadaan publisher’s right media berkualitas,” ujarnya.
Melalui rilis tertulisnya yang diterima Tempo, Koalisi Cek Fakta juga mendorong Kantor Komunikasi Kepresidenan menempuh prosedur hak jawab maupun mekanisme keberatan kepada Dewan Pers atas konten berita yang tayang di media massa.
Selain itu, Koalisi Cek Fakta meminta agar Kantor Komunikasi Kepresidenan transparan mengenai metodologi pemeriksaan fakta atas klaim-klaim yang diunggah ke media sosial. Termasuk mendesak PCO mengganti nama akun @cekfakta.ri dengan nama lain karena narasi dan kontennya tidak sesuai dengan prinsip dan standar IFCN.