TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah politikus di DPR mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap memasukkan norma hukum baru dalam putusan mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal. Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan pemilu lokal dan nasional harus dijeda minimal dua tahun dan mesti diselenggarakan terpisah. Beberapa politikus, seperti Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqizanny, menilai MK seharusnya tak membuat norma sendiri di luar parlemen dan pemerintah.
Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menilai munculnya norma-norma hukum baru dari MK bisa dibenarkan. Menurut Herdiansyah, langkah MK bertindak sebagai legislator positif dan mengeluarkan norma sendiri bukanlah fenomena baru. "Urusan positive legislature itu sudah kerap kali dilakukan oleh MK," kata dia melalui pesan suara pada Rabu, 2 Juli 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun legislator positif berperan menciptakan norma hukum baru untuk mengisi kekosongan hukum atau mengatasi ketidakpastian hukum. Selain itu, terdapat juga peran legislator negatif yang hanya membatalkan atau menolak norma undang-undang, namun tidak membuat aturan baru.
Dalam putusan mengenai pemisahan pemilu, Herdiansyah menganggap MK berwenang membuat norma baru karena DPR dan pemerintah tidak kunjung memperbaiki sistem pemilu. Padahal, kata Herdiansyah, sistem pemilu yang ada masih memberikan ketidakpastian hukum bagi pemilih.
Herdiansyah menilai putusan MK yang melahirkan norma baru termasuk kategori judicial activism atau aktivisme yudisial. Artinya, kata dia, MK boleh melakukan penilaian sendiri dan membuat norma baru jika pembuat undang-undang tidak membuat norma yang sesuai dengan kepentingan publik.
"Kalau peraturan hanya didesain untuk kepentingan elite politik, bukan kepentingan warga negara, ya mau tidak mau, suka tidak suka, MK akan mengevaluasi kebijakan itu dan melahirkan norma baru," ucap Herdiansyah.
Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karyasuda sebelumnya merespons putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan daerah. Ia mengatakan seharusnya MK tak membuat norma baru di luar DPR dan pemerintah.
Rifqi mengatakan, MK ialah negative legislature yang berwenang untuk memberikan pandangan terhadap kesesuaian suatu norma dengan konstitusi. Namun, dalam putusan nomor 135/PUU-XXII/2024, MK dianggap melampaui kewenangannya karena memisahkan pelaksanaan pemilu dan pilkada.
"Sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional tapi dia bikin norma sendiri," ujar Rifqi saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 30 Juni 2025.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai NasDem Saan Mustopa menilai putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan daerah merupakan hal yang inkonstitusional. Dia menilai putusan itu menentang pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur pemilihan umum.
Dalam beleid itu disebutkan bahwa setiap lima tahun sekali pemilu diselenggarakan untuk memilih presiden-wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sehingga Saan menganggap pemisahan pemilu dan pilkada melanggar konstitusi.
"Putusan itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda," kata dia saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 1 Juli 2025.
Wakil Ketua DPR itu mengatakan bahwa untuk mengakomodasi putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 maka harus ada amandemen UUD 1945.
Dian Rahma Fika dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini