KEMENTERIAN Kebudayaan sedang mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengatakan pemerintah menargetkan proyek ini rampung pada Agustus nanti. Dalam wawancara tentang proses penulisan ulang sejarah bersama jurnalis senior dari IDN Times, Uni Zulfiani Lubis, Fadli menyebutkan peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor.
Fadli mulanya menjelaskan penulisan ulang sejarah bertujuan mengklarifikasi rumor-rumor yang selama ini telah dianggap sebagai fakta sejarah. Dia lantas menjadikan peristiwa pemerkosaan massal sebagai contoh dari rumor yang ingin dia luruskan.
“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?” kata Fadli dalam wawancara yang ditayangkan di siaran YouTube media IDN Times pada Rabu, 11 Juni 2025. Uni Lubis selaku pemimpin redaksi telah mengizinkan Tempo mengutip pernyataan Fadli Zon dalam video tersebut.
Pernyataan Fadli Zon tersebut mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari akademisi.
Akademisi Menyarankan Pemerintah Mendengar TGPF 98
Mengenai peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998, akademisi dan pemerhati sosial kemasyarakatan Serian Wijatno menyarankan pemerintah meminta masukan dari mantan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan Mei 1998 dan penyintas kasus kerusuhan tersebut saat menulis ulang sejarah.
Serian mengatakan, dengan begitu, persoalan-persoalan yang ada dalam peristiwa itu bisa terjawab. “Sayangnya, dalam rencana penulisan ulang sejarah inilah poin transparansi seperti terlupakan, khususnya ketika membahas tentang peristiwa menjelang era reformasi yang meninggalkan catatan buruk sejarah perjalanan negeri ini,” kata Serian dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta pada Senin, 16 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.
Dia menjelaskan Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu titik gelap dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kerusuhan yang melanda berbagai kota besar bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga trauma sosial yang mendalam.
Di tengah kekacauan itu, kata dia, terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan. Peristiwa sedih itu tercatat dalam laporan TGPF yang dibentuk bersama pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.
Selain mengandalkan sejarawan, menurut dia, tim penyusun dan pemerintah bisa melibatkan atau meminta masukan juga dari tokoh-tokoh yang duduk dalam TGPF Tragedi Mei 1998, seperti K.H. Said Aqil Siradj, Bambang Wijayanto, Dai Bachtiar, dan tokoh lainnya. Bahkan tidak sedikit penyintasnya yang masih hidup untuk diambil kesaksiannya sehingga akan memperkaya perspektif.
Menurut Serian, upaya itu perlu dilakukan semata-mata demi penulisan sejarah yang benar-benar transparan, karena bagian sejarah Indonesia harus dipahami generasi muda
“Justru, kalau ini tidak dibuka secara transparan, malah akan menimbulkan kecurigaan, sementara peristiwanya sendiri sudah mendunia,” katanya.
Secara pribadi, dia tidak menginginkan sejarah dijadikan medan tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek. Dengan sejarah yang transparan, kata dia, kebenaran tidak boleh disangkal hanya karena tidak nyaman.
“Itu adalah bentuk tanggung jawab moral untuk membuka ruang penyembuhan bagi mereka yang telah lama diam karena takut dan terluka,” katanya.
Komnas Perempuan: Negara Pernah Akui Peristiwa Pemerkosaan Massal 1998
Adapun Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan negara telah mengakui secara resmi adanya pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998. Komnas Perempuan menegaskan hasil penyelidikan TGPF 1998 mencatat sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan, yang terjadi selama kerusuhan.
Temuan itu disampaikan langsung kepada Presiden B.J. Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara atas pelanggaran HAM terhadap perempuan. Salah satu tindak lanjutnya adalah pembentukan Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.
“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih dalam keterangan resmi diterima Tempo pada Ahad, 15 Juni 2025.
Komnas Perempuan menjelaskan TGPF dibentuk melalui keputusan bersama lima pejabat tinggi negara pada 23 Juli 1998, antara lain Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dan Jaksa Agung. Tim ini merupakan mandat resmi negara untuk mengungkap fakta kerusuhan, termasuk dugaan pelanggaran HAM berat.
Komisioner Komnas Perempuan Yuni Asriyanti menuturkan pengakuan atas kebenaran adalah fondasi penting dalam proses pemulihan penyintas. Dia mendorong Fadli Zon menarik pernyataannya dan meminta maaf kepada penyintas serta masyarakat. “Sebagai wujud tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia,” kata Yuni.
Sementara itu, Wakil Ketua Transisi Komnas Perempuan Sondang Frishka Simanjuntak menyebutkan, dengan menyangkal keberadaan dokumen TGPF, sama saja mengabaikan kerja-kerja pendokumentasian resmi dan mengingkari upaya kolektif bangsa dalam mencari keadilan.
“Komnas Perempuan menyerukan kepada semua pejabat negara untuk menghormati kerja-kerja pendokumentasian resmi, memegang teguh komitmen HAM, dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat,” ujarnya.
Komnas Perempuan menegaskan pemerintahan saat ini tidak boleh mundur dari pengakuan dan tanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam Tragedi Mei 1998.
Dede Leni Mardianti, Dinda Shabrina, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Polemik Ihwal Rencana Pramono Larang Ondel-ondel Mengamen