TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah bertentangan dengan putusan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, Mahkamah semestinya konsisten dengan putusan perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang dalam merumuskan model keserentakan pada UU Pemilu, bukan membatasinya.
"MK lompat pagar atas kewenangan DPR meski UU Pemilu belum diubah setelah putusan 55/PUU-XVII/2019," kata Khozin dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 28 Juni 2025.
Ia menyebut, pertimbangan hukum pada putusan 55/PUU-XVII-2019 disebutkan jika Mahkamah tidak berwenang untuk menentukan model keserentakan pemilu. Sebab, urusan ini menjadi domain DPR sebagai pembentuk UU.
Khozin mengatakan, implikasi dari putusan Mahkamah yang memisahkan penyelenggaraan pemilu tak lagi serentak juga akan berdampak konstitusionalitas terhadap kelembagaan lain, termasuk penyelenggara pemilu hingga persoalan teknis.
"Implikasinya cukup komplikatif. Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja," ujar politikus PKB ini.
Adapun, Mahkamah mengabulkan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem. Perkara ini menguji formil UU Pemilu dan UU Pilkada.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan tahapan pemilihan yang berdekatan menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan, baik dari unsur eksektif maupun calon anggota legislatif.
Saldi melanjutkan, pemilu nasional yang berdekatan waktu penyelenggaraannya dengan pilkada akan menyebabkan masalah pembangunan di daerah tenggelam oleh isu nasional.
"Di tengah isu dan masalah pembangunan yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat harus tetap utama," kata Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu.
Syahdan, kata dia, tahapan pemilu nasional atau daerah yang berada dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pilkada berimplikasi pada stabilitas partai politik.
Implikasi ini dikhawatirkan menyebabkan partai kehilangan kemampuan untuk mempersiapkan kader yang kompeten untuk mengikuti kontestasi.
Hakim konstitusi Arief Hidayat menambahkan, pemilu serentak juga menyebabkan partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi.
Partai, kata dia, juga dinilai tidak memiliki waktu yang cukup untuk merekrut calon anggota legislatif untuk tiga level sekaligus, apalagi bagi partai politik yang juga harus mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilu.
"Itu menyebabkan perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS Mulyanto mengatakan putusan Mahkamah akan menyebabkan perpanjangan masa jabatan DPRD karena pemilu daerah tak lagi digelar serentak dengan pemilu nasional.
Putusan Mahkamah memerintahkan pemilu untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah dilakukan paling lama 2,5 tahun setelah diselenggarakannya pemilu nasional yang memilih anggota DPR, DPD, dan presiden atau wakilnya.
Artinya, pemilu daerah kemungkinan diselenggarakan pada 2031 yang menyebabkan adanya kekosongan jabatan di daerah pada 2029.
"Karena itu DPR harus segera membahas revisi UU Pemilu untuk mengadopsi putusan ini dengan ideal," kata Mulyanto melalui pesan singkat, Sabtu, 28 Juni 2025.