TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Macan Yusuf mengatakan pemerintah pusat harus membuat cetak biru atau peta jalan atas batas wilayah dan daerah kepulauan setelah sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara.
Dede Yusuf mengatakan Indonesia sedikitnya memiliki 13 ribu pulau berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Namun tidak semua pulau tersebut terpetakan. Menurut dia, sebelum pemerintah memutuskan bagaimana pengelolaan pulau-pulau tanah air, setidaknya negara memiliki penguasaan atas pulau-pulau tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru kemudian negara memberikan mandat kepada Menteri Keuangan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, hingga Menteri Dalam Negeri bagaimana mengelola pulau tersebut. “Nah itu kami sedang meminta roadmap-nya dulu. Jangan sampai kita kayak kebakaran jenggot, nanti muncul (sengketa) disini, muncul di sana. Ini dulu yang kami minta diselesaikan. Sehingga nanti pemerintah daerah tahu, oh ini punyanya kabupaten ini, ini punya provinsi ini. Itu jelas,” kata Dede kepada Tempo, Ahad, 22 Juni 2025.
Legislator Partai Demokrat ini mengatakan tanpa adanya roadmap yang jelas, kasus seperti empat pulau Aceh akan bermunculan. Apalagi baru-baru muncul sengketa 13 pulau di Jawa Timur yang diperebutkan antara Trenggalek dan Tulungagung.
Kendati demikian, Dede Yusuf memaklumi bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional kesulitan melakukan pemetaan nasional di tengah pemangkasan anggaran.
“Kami memahami juga keterbatasan fiskal anggaran negara saat ini. Tentu untuk melakukan pemetaan seluruh Indonesia bukan suatu hal mudah. Apalagi harus menggunakan satelit dan sebagainya,” ucapnya.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menyatakan kementeriannya telah mempelajari dokumen terhadap sengketa 13 pulau yang diperebutkan Trenggalek dan Tulungagung. Menurut dia, pemerintah bakal berhati-hati untuk menyelesaikan polemik perebutan pulau-pulau tersebut.
"Yang pasti kami belajar dari sengketa empat pulau di Aceh, tentu kami berhati-hati," ujarnya ditemui di kantor Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemendagri, Jakarta Selatan pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Pemerintah, kata dia, akan menelusuri data geografis terkait wilayah administrasi 13 pulau tersebut. Tak hanya itu, Bima mengatakan akan mempelajari aspek historis pulau-pulau itu. "Sebab kesepakatan-kesepakatan masa lalu itu penting," ucapnya.
Pulau-pulau yang sedang diperebutkan di antaranya Pulau Anak Tamengan, Pulau Anakan, Pulau Boyolangu, Pulau Jewuwur, dan Pulau Karangpegat. Ada juga Pulau Solimo, Pulau Solimo Kulon, Pulau Solimo Lor, Pulau Solimo Tengah, Pulau Solimo Wetan, Pulau Sruwi, Pulau Sruwicil, dan Pulau Tamengan.
Sengketa 13 pulau antara Kabupaten Trenggalek dan Tulungagung mulai mencuat sejak terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 4 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), yang mencakup 13 pulau milik Trenggalek.
Pencatutan didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode Data Wilayah Administrasi Pemerintah dan Pulau.
Di sisi lain, Pemkab Trenggalek bersikukuh bahwa 13 pulau tersebut merupakan miliknya. Trenggalek telah menunjukkan bukti-bukti bahwa 13 pulau itu masuk di wilayah Bumi Menak Sopal, sebutan lain Trenggalek. Bukti itu di antaranya peta RTRW yang memasukkan 13 pulau itu ke Trenggalek, selaras dengan yang ada di RTRW Provinsi.
Sebelumnya, pemerintah pusat telah memutuskan empat pulau yang disengketakan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara menjadi milik Aceh. Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
Keputusan ini berdasarkan dokumen asli berisi kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992 yang ditemukan. Dokumen ini berisi penegasan bahwa Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Pulau Panjang itu masuk wilayah Aceh.
Novali Panji Nugroho dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini