Liputan6.com, Jakarta - Bediding (mbediding) adalah istilah yang merujuk pada cuaca dingin di musim kemarau tepatnya pada malam hingga pagi hari.
Pakar Teknik Lingkungan Universitas Airlangga (UNAIR), Wahid Dianbudiyanto ST MSc, mengatakan, di balik langit cerah dan suhu yang menjebak, tersembunyi potensi gangguan serius bagi kesehatan manusia dan keseimbangan lingkungan.
Wahid menjelaskan fenomena ini sebagai penurunan tajam suhu udara di malam hari akibat hilangnya penutup awan selama musim kemarau. “Permukaan bumi kehilangan panas lebih cepat karena tidak ada awan yang menahan radiasi balik ke atmosfer,” jelasnya mengutip laman UNAIR, Sabtu (19/7/2025).
Penyebab utama lainnya adalah hembusan angin muson timur dari Australia yang tengah mengalami musim dingin. Massa udara dingin dan kering masuk ke Indonesia bagian selatan akibat perbedaan tekanan antara benua Asia dan Australia.
“Inilah mengapa suhu malam hari bisa turun hingga 17 derajat celcius, bahkan lebih rendah di dataran tinggi,” tambahnya.
Wahid memperkirakan fenomena ini akan berlangsung hingga September, mengikuti pola puncak musim kemarau. Meski tampak alami, ia mengingatkan bahwa perubahan iklim global bisa memperparah siklus bediding di masa depan.
Penurunan suhu yang drastis tak hanya menimbulkan rasa tidak nyaman, tapi juga berdampak nyata.
“Suhu dingin dapat memicu penyakit pernapasan seperti flu dan asma. Bagi peternakan dan pertanian, suhu ini bisa mengganggu produktivitas dan menyebabkan kematian ternak,” ujarnya.
Musim kemarau tapi nyatanya hujan deras masih mengguyur. Menyikapi fenomena ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan adanya potensi cuaca ekstrem yang masih akan berlangsung hingga Oktober mendatang.
Turunkan Ketahanan Tubuh
Meski belum ada laporan signifikan, Wahid menyebut risiko akan meningkat jika fenomena berlangsung lebih lama dari biasanya.
Ia menegaskan, masyarakat perlu mewaspadai efek jangka pendek yang sering terabaikan. “Bukan hanya tubuh yang menggigil, tapi juga ketahanan tubuh yang menurun.”
“Tak ada rekomendasi kebijakan khusus, namun perlu meningkatkan edukasi publik. Minimal, masyarakat perlu rutin memantau prakiraan cuaca, memakai pakaian hangat saat malam, dan menjaga daya tahan tubuh lewat pola makan sehat dan vitamin,” imbaunya.
Dokter sekaligus ahli kesehatan lingkungan, Dicky Budiman, menyampaikan bahwa perubahan suhu ekstrem memang dapat melemahkan daya tahan tubuh.
“Perubahan suhu ekstrem antara siang dan malam dapat melemahkan daya tahan tubuh,” ujar Dicky lewat pesan suara kepada Health Liputan6.com.
Kondisi cuaca seperti ini, sambungnya, akan mendorong masyarakat untuk beraktivitas atau berkumpul di dalam ruangan tertutup terutama saat hujan.
“Ini juga meningkatkan transmisi virus. Namun, itu semua bisa diminimalisir dengan personal hygiene, pakai masker, membuka ventilasi,” terangnya.
Bediding Bukan Bencana, tapi…
Fenomena bediding bukan bencana, namun bila terus diabaikan bisa berubah jadi peringatan dari alam tentang pentingnya kesiapsiagaan lingkungan.
Senada dengan Wahid, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan fenomena suhu dingin ini akan terjadi hingga September 2025.
Prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi (Staklim) Jawa Timur, Linda Firotul, mengatakan fenomena bediding bisa terjadi karena dipicu oleh kemunculan angin timuran.
"Bediding ini diakibatkan karena saat ini berada di musim kemarau dengan ditandai adanya dominasi angin timuran yang bersifat kering dan dingin. Fenomena ini biasa terjadi pada bulan Juli sampai September 2025," kata Linda mengutip Antara.