Liputan6.com, Jakarta - Kecerdasan buatan (AI) saat ini menjadi magnet utama dalam dunia teknologi, termasuk di industri smartphone.
Tahun 2025 menandai era baru, di mana hampir setiap perangkat pintar kini datang dengan label "AI-powered" yang diklaim membawa pengalaman berbeda bagi pengguna.
Mengutip Gizchina, Selasa (15/7/2025), tren ini mulai berkembang pesat sejak ledakan popularitas ChatGPT yang memperkenalkan publik pada kemampuan AI generatif.
Tak butuh waktu lama, fitur berbasis AI mulai merambah kamera, baterai, hingga asisten suara di ponsel pintar.
Dulu, pengguna mungkin hanya menantikan prosesor lebih cepat atau desain layar tanpa bezel. Kini, ekspektasi beralih pada fitur AI canggih seperti magic eraser, pengedit foto otomatis, hingga pengenalan suara kontekstual.
Namun, apakah semua itu benar-benar mengubah cara kita berinteraksi dengan smartphone? Atau justru sebagian besar hanyalah gimik untuk mendongkrak penjualan?
Manfaat Nyata: AI Mempermudah Hidup Pengguna
Tidak dapat dipungkiri, beberapa penerapan AI di smartphone memang bermanfaat secara nyata.
AI kini mampu belajar dari kebiasaan pengguna, misalnya, dalam menyesuaikan tingkat kecerahan layar atau memberikan saran balasan otomatis dalam aplikasi pesan.
Bahkan, baterai juga bisa diatur agar lebih efisien, tergantung pola penggunaan harian pemiliknya.
Salah satu contoh suksesnya ada pada lini Pixel dari Google. Meskipun menggunakan spesifikasi menengah, berkat algoritma AI, hasil foto tetap tajam dan detail.
Hal serupa diterapkan Apple lewat Neural Engine-nya, yang mendukung fitur seperti Live Text dan pemrosesan gambar tingkat lanjut.
Tak ketinggalan, asisten suara seperti Siri dan Google Assistant kini jauh lebih cepat dan responsif. Bahkan, pengolahan suara kini bisa dilakukan langsung di perangkat tanpa koneksi internet, menjanjikan kecepatan dan keamanan data yang lebih baik.
Risiko Tersembunyi: Privasi Jadi Taruhan
Namun di balik semua kecanggihan itu, ada harga yang harus dibayar: privasi pengguna.
Banyak fitur AI bekerja dengan mengumpulkan dan menganalisis data dalam jumlah besar, mulai dari foto pribadi, riwayat lokasi, hingga perilaku pengguna dalam menjelajah aplikasi atau situs web.
Semakin sering AI digunakan, kian banyak pula data yang dikumpulkan dan diproses secara diam-diam.
Kekhawatiran muncul karena tak semua pengguna sadar akan seberapa banyak data yang diakses perangkat mereka.
Misalnya, AI yang mampu mengatur jadwal atau memberi rekomendasi lokasi makan siang secara otomatis tentu harus mengetahui lokasi pengguna, preferensi makanan, bahkan pola kebiasaan harian.
Meskipun perusahaan menjanjikan keamanan data, kenyataannya masih sering terjadi kebocoran atau penyalahgunaan informasi yang bersifat sensitif.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kenyamanan sepadan dengan risiko pengawasan?
Dalam kondisi tertentu, AI justru dapat menciptakan ekosistem digital yang mengintip setiap keputusan pengguna, mulai dari apa yang dibeli, ditonton, hingga ke mana mereka akan pergi.
Gimmick AI: Antara Kreatif dan Menyesatkan
Label "AI-powered" semakin sering digunakan oleh produsen smartphone, namun sayangnya tidak semua benar-benar mencerminkan kecanggihan yang dijanjikan.
Banyak fitur yang diklaim berbasis AI, namun sebenarnya hanya teknologi lama dengan kemasan baru. Ini menjadi strategi marketing yang umum, terutama untuk menarik perhatian generasi muda atau pengguna awam yang menganggap AI sebagai sesuatu yang futuristik.
Contohnya, fitur wallpaper yang berubah sesuai suasana hati pengguna masih menimbulkan pertanyaan, karena tidak dijelaskan bagaimana perangkat mendeteksi emosi dengan akurat.
Begitu pula dengan filter foto yang diklaim canggih, padahal hanya menggunakan efek visual standar yang telah lama ada dalam aplikasi edit gambar konvensional.
Tak jarang, fitur-fitur ini hanya digunakan sekali dua kali, lalu diabaikan oleh pengguna karena tidak menawarkan nilai fungsional yang berarti.
Beberapa bahkan hanya muncul sebagai demo saat peluncuran produk, tapi tidak terintegrasi secara mendalam dalam sistem. Inilah yang membuat sebagian kalangan menganggap AI sebagai gimik yang lebih banyak menjual ilusi ketimbang inovasi nyata.
AI Bisa Perpendek Usia Pakai Smartphone
Di balik kemudahan yang ditawarkan, kehadiran AI juga membawa dampak tak terduga: memperpendek usia pakai perangkat.
Banyak fitur AI modern membutuhkan daya komputasi tinggi dan chip khusus seperti Neural Processing Unit (NPU) agar dapat berfungsi optimal. Tanpa itu, performa fitur seperti pengenalan suara atau pengolahan gambar jadi terbatas.
Akibatnya, ponsel lama yang masih mumpuni secara spesifikasi mulai terasa tertinggal karena tidak mendukung fitur AI terbaru.
Hal ini memicu tekanan terselubung bagi pengguna untuk segera mengganti perangkat, meskipun secara fungsi dasar smartphone mereka masih layak pakai.
Lebih parah lagi, banyak produsen kini membatasi fitur AI hanya untuk model flagship terbaru. Ini memperkuat kekhawatiran akan praktik planned obsolescence, strategi membuat perangkat lama terasa usang agar konsumen terdorong membeli versi baru.
Pengguna yang baru membeli ponsel dua tahun lalu pun mulai merasakan dampaknya. Tak sedikit yang merasa kehilangan akses ke fitur-fitur penting hanya karena chip-nya dianggap tidak cukup canggih oleh standar saat ini.
Jika tren ini berlanjut, AI justru bisa menjadi pemicu percepatan daur hidup smartphone. Bukan karena perangkatnya rusak, tetapi karena secara sistematis dibuat terasa ketinggalan zaman.