Liputan6.com, Jakarta - Sisa kuota internet hangus saat masa aktif berakhir, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Pro kontra ini muncul usai Indonesia Audit Watch (IAW) menemukan kerugian konsumen mencapi Rp 63 triliun per tahun dari kuota internet hangus tersebut.
Terkait polemik ini Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho menilai bahwa dalam mekanisme pasar, antara pembeli dan penjual sudah ada kesepakatan untuk membeli produk yang dijual.
"Kewajiban operator telekomunikasi sudah melampirkan syarat dan ketentuan yang berlaku. Ini sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 yang memastikan penjualan pulsa dan semua layanan kuota internet dilengkapi dengan informasi yang transparan tentang harga, jumlah kuota, dan masa aktif layanan," Riant memaparkan, dalam keterangannya, Kamis (26/6/2025).
Jika pembeli dan penjual (operator) sudah bersepakat membeli produk sesuai dengan persyaratan jual beli, menurut Riant, maka sudah terjadi kesepakatan bisnis antar pihak.
"Ketika sudah ada kesepakatan bisnis, maka tidak bisa pihak lain mengatakan ada unsur pidana karena operator sudah melampirkan syarat dan ketentuan yang berlaku untuk pembelian pulsa dan kuota berbatas waktu. Ini sesuai dengan PM Kominfo No 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi," ia menjelaskan.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2012–2015 itu menilai, pihak yang menuding operator telekomunikasi merugikan keuangan negara dan merugikan konsumen, tidak mengerti hukum dagang atau perjanjian perdata.
"Hukum dagang itu kesepakatan antara penjual dan pembeli. Jika pembeli sudah sepakat membeli dari penjual dengan syarat dan ketentuan yang tertuang dalam pembelian produk pulsa atau kuota internet, masyarakat dan badan perlindungan konsumen tidak boleh memperkarakan objek yang sudah disepakati dalam jual beli," Riant memungkaskan.