Liputan6.com, Jakarta - Anak yang dekat dengan ibu akan lebih tangguh menghadapi perundungan atau perlakuan buruk.
Hal ini disampaikan psikolog klinis, Bianglala Andriadewi. Menurutnya, anak yang merasa aman secara emosional pada ibunya cenderung lebih mampu mengelola perasaannya dan tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.
“Ketika anak merasa memiliki tempat aman di rumah yaitu orangtuanya, ketika dia diejek atau dinakali, dia akan memilih bercerita ke orangtua dibandingkan membalas perlakuan buruk temannya,” ujar Bianglala mengutip laman NU Online, Sabtu (19/7/2025).
Meski begitu, Bianglala menegaskan bahwa kedekatan dengan anak sebaiknya tidak hanya dibangun oleh ibu, apalagi dalam konteks kekerasan. Menurutnya, ayah juga memegang peran penting dalam membentuk keberanian anak.
“Keberanian bukan berarti berani membalas kekerasannya, tetapi keberanian itu merupakan kepercayaan dirinya pada diri sendiri,” tegas Bianglala.
Ia menambahkan, kepercayaan anak terhadap dukungan eksternal juga memengaruhi cara anak menyikapi perlakuan buruk dari orang lain. Ketika anak yakin bahwa ejekan temannya tidak mengurangi kasih sayang orangtuanya, ia tidak akan merasa terancam secara emosional.
“Jadi ketika anak diejek oleh temannya, orangtua dapat memberikan validasi emosi terlebih dahulu. Dari ibu misalnya, ‘Kakak kesel ya sama si A, kakak marah ya’,” ucapnya.
Berkaca dari kasus perundungan di sekolah swasta elit di Tangerang Selatan. Psikolog anak dan remaja, Novita Tandry mengingatkan para orang tua tentang pentingnya hadir secara fisik dan emosional untuk anak yang tengah bertumbuh dewasa.
Setelah Validasi Emosi Anak
Setelah emosi anak divalidasi, lanjut Bianglala, orangtua bisa mengajarkan bahwa rasa marah adalah hal yang wajar. Namun, penting juga untuk mengarahkan anak pada cara penyelesaian konflik yang sehat.
“Misalkan orangtua mengajarkan dengan cara yang berbasis agama, misalnya dengan berdoa kepada Allah supaya teman yang melakukan hal yang tidak baik kepada kita diberikan kesadaran. Atau dengan mengekspresikan emosi melalui hal-hal baik, misalnya dengan bermain,” ujarnya.
Bianglala menekankan, pendekatan rasional dan ajakan berpikir mendalam baru bisa dilakukan setelah anak tenang dan emosinya divalidasi oleh orangtua.
Ia juga mengingatkan bahwa proses mendidik anak tidak cukup hanya dari keteladanan orangtua. Lingkungan sekitar seperti guru, teman, dan tontonan anak di gawai (jika digunakan) juga turut membentuk karakter dan respons anak terhadap situasi sosial.
“Kalau dia di rumah sudah secure, tapi di sekolah guru sering marah-marah, temannya menunjukkan kekerasan, maka sangat mungkin anak akan meniru. Jadi misal anak membalas, itu hal yang wajar,” jelasnya. “Kalau dia tidak melihat kekerasan itu, maka anak tidak akan melakukan hal tersebut,” tambahnya.
Peran Ayah untuk Anak
Tak hanya ibu, ayah juga memiliki peran krusial dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Kepala BKKBN, Dr. Wihaji, S.Ag, M.Pd, mengupayakan perubahan budaya pengasuhan di Indonesia. Dari yang semula terpusat pada peran ibu, menjadi lebih kolaboratif dan setara.
“Berdasarkan data 20,9 persen anak Indonesia mengalami fatherless atau kehilangan ayahnya,” ujar Wihaji dalam keterangan resmi.
Hilangnya peran ayah dapat memicu mental stroberi pada anak. Wihaji menjelaskan, istilah strawberry generation atau generasi stroberi pada mulanya muncul dari negara Taiwan. Istilah ini ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak seperti buah stroberi.
Pemilihan buah stroberi untuk penyebutan generasi baru ini juga karena buah ini tampak indah dan eksotis, tetapi begitu dipijak atau ditekan ia akan mudah sekali hancur.
Menurut Wihaji, salah satu penyebab anak tumbuh dengan mental stroberi adalah ketidakhadiran peran ayah dalam pengasuhan.
"Saat ini karena kurangnya sentuhan ayah terhadap anak-anak yang rata-rata jarang, saat ini banyak anak-anak dengan leadership yang terbentuk menjadi leadership keibuan,” kata Wihaji di Jakarta Timur pada Rabu, 22 Januari 2025 mengutip keterangan pers.
“Jika nanti anak-anak hanya disentuh oleh ibu, jika tidak ada sentuhan seorang ayah, anak-anak ini akan memiliki sifat keibuan dan menjadi lembut. Sekarang karena 80 persen itu lebih banyak dibimbing ibu sampai berumur 18 tahun, maka leadership yang tersentuh akan menjadi seperti ibu-ibu, dan ciptakan mental strawberry,” tambahnya.
Pengasuhan Tak Tepat Picu Mental Stroberi
Dalam keterangan lain, akademisi sekaligus praktisi bisnis Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya menjelaskan bahwa strawberry generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.
“Definisi ini dapat kita lihat melalui laman-laman sosial media. Begitu banyak gagasan- gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus pula juga tidak kalah banyak cuitan resah penggambaran suasana hati yang dirasakan oleh mereka,” papar Rhenald mengutip laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu), Jumat (24/1/2025).
Senada dengan Wihaji, menurut Rhenald, cara orangtua mendidik anak memang menjadi salah satu faktor munculnya mental stroberi.
Ditambah kondisi keluarga di mana anak dibesarkan dan situasi yang lebih sejahtera dibandingkan generasi sebelumnya juga memengaruhi mental stroberi.
“Tentu saja banyak yang kehidupannya masih susah, tetapi tidak dapat dimungkiri kehidupan sekarang pada umumnya lebih sejahtera daripada beberapa dekade yang lalu,” kata Rhenald.
Dibesarkan dalam keluarga yang sejahtera mesti disyukuri tetapi berakibat juga pada beberapa hal. Pada keluarga yang sejahtera, orangtua mempunyai kecenderungan memberikan apa yang diminta oleh anak-anaknya. Kemudian orangtua biasanya lebih sedikit menghabiskan waktu dengan anak karena kesibukan harian.